Senin, 06 Januari 2014

IMPOSTER SYNDROME (apakah menjangkiti Anda atau anak Anda?)

2

Bismillah...

IMPOSTER SYNDROME
 (apakah menjangkiti Anda atau anak Anda?)

Secara sederhana, imposter syndrome adalah suatu krisis kejiwaan karena merasa bukan orang hebat dan kompeten. Mereka yang memiliki permasalahan ini akan merasakan kegelisahan yang berlangsung lama karena merasa tidak cakap dalam bidang yang digeluti. Penderita imposter syndrome biasanya selalu merasagagal, tidak sukses atau tidak mengagumkan. Meskipun sebenarnya orang-orang disekitarnya mengakui “keunggulan” dirinya, namun penderita syndrome ini akan mengacuhkannya. Tetap merasa tidak sukses, tidak hebat, tidak cerdas, dsb. Bilapun kesuksesan ia dapatkan, maka ia akan lebih percaya bahwa semua itu adalah faktor keberuntungan belaka. Bahkan, ia merasa telah menipu orang lain atas keberhasilan dirinya karena ia tidak pernah merasa hebat sesuai dengan apa yang orang lain espektasikan kepadanya.

Di sisi lain,kondisi imposter syndrome bisa sebaliknya. Seseorang yang pada awalnya merasa percaya diri karena orang-orang di sekitarnya seolah memberi harapan besar kepada dirinya, berespektasi lebih terhadap kemampuannya. Namun, ketika ia menghadapi tantangan yang real, di luar dugaan ternyata kemampuannya tidak sebaik yang awal ia dan orang lain perkirakan. Pada akhirnya orang tersebut malah menjadi down atas kondisi dirinya sendiri dan tidak percaya diri.

Menurut penelitian, syndrome ini salah satunya disebabkan  oleh “family label”. Family label adalah dimana orang tua memberikan julukan atau panggilan tertentu kepada anaknya.Misalnya: si anak cengeng, anak manja, anak payah, dsb. Label tersebut bisa terbawa sampai ia dewasa kelak, karena orang tua pun tidak mengubah persepsi mereka terhadap anaknya tersebut. Oleh sebab itu, sang anak menjadi ragu akan kemampuan dirinya sendiri. Atau sebaliknya, justru karena orang tua yang terlalu berlebihan dalam memuji dan mengunggulkan anaknya. Hal ini menjadikan anak percaya bahwa dirinya memang sempurna dan mengesankan. Namun, ternyata realita menunjukkan bahwa ternyata sang anak “biasa-biasa saja”, standar atau bahkan di bawah rata-rata. Kondisi tersebut membuat ia ragu akan persepsi yang telah terbangun. Bisa jadi, demi tetap menjaga image yang sudah ada maka ia akan sengaja menyembuyikan kesulitan-kesulitannya tersebut.

Sungguh miris bila banyak anak-anak dengan kondisi yang demikian. Untuk itu, maka ajarkanlah anak kita untuk dapat mencintai dirinya sendiri, menerima dirinya sendiri apa adanya. Ajarkanlah anak kita untuk bisa  berdamai dengan segala kondisi yang harus ia hadapi. Ajarkan anak kita untuk mampu jujur kepada bisikan nuraninya sendiri. Ajarkanlah anak kita untuk dapat tulus.. melakukan sesuatu karena memang dorongan hatinya sendiri. Melakukan sesuatu karena berdasar apa yang ia pahami dan yakini. Dengan demikian, anak kita akan menjadi sosok yang percaya diri, mandiri, senantiasa optimis, jujur  dan pandai bersyukur.

Janganlah kita memberikan “label” negatif  terhadap anak karena perilaku mereka  yang kurang berkenan di hati kita. Bagaimanapun, mereka tetaplah anak-anak. Segala polah tingkah anak, adalah reaksi keluguan mereka, orang tualah yang memberikan arahan dan pengertian. Apa yang dilakukan anak, tidak semata orisinil mereka lakukan sendiri, karena mereka meneladani apa yang mereka lihat dan dengar.  Jangan pula memuji anak terlalu berlebihan,bahkan demi sekedar membesarkan hatinya. Berikanlah motivasi yang membangun dan menguatkan. Jangan menaruh obsesi tertunda kita pada anak. Jangan terlalu memberikan harapan-harapan “tinggi”  dan standar DAHSYAT kepada anak kita, karena bisa jadi hal tersebut menjadi beban tersendiri di benak mereka. Janganlah menuntut kesempurnaan pada anak-anak kita,karena mereka adalah mahluk kecil yang mempunyai kelebihan sekaligus keterbatasan.

Saya kembali memaknai kalimat “mulailah dari diri sendiri”. Ternyata bila kita belum tuntas untuk “membentuk” dan “menempa” diri menjadi manusia yang penuh integritas,maka sebetulnya kita tidak akan dapat “memberikan” sesuatu kepada orang lain disekitar kita secara optimal. Misal:  Orang yang belum bisa jujur kepada dirinya sendiri, berarti sulit pula untuk jujur kepada orang lain. Orang yang tidak terbiasa untuk menunaikan tanggung jawab (untuk kehidupan) pribadi dengan baik,maka  akan dipertanyakan pula rasa tanggung jawabnya terhadap  sesuatu yanglebih besar ranahnya, dsb.  Pembentukan pribadi dan karakter yang kuat pada anak sangat menentukan masa depannya.

Ironis, kejujuran anak kadangkala  malah membuahkan amarah,caci maki atau pandangan negatif lainnya. Akhirnya anak berkesimpulan, lebihbaik saya berbohong dan “selamat” daripada jujur tapi kena “semprot” orang tua.Anak-anak akan mengutamakan “pandangan baik” dari orang lain, sekalipun itu membohongi dan membebani diri mereka sendiri.  Mereka jadi “tuli” akan kata hati mereka,bahkan menjadi “buta rasa” karena tidak tahu apa yang mereka inginkan. Yang adadi benak mereka adalah “saya tidak mau mengecewakan orang lain” sekalipun itu diluar kemampuan mereka. Maka terbentuklah generasi dengan mental hipokrit.

Seorang KurtCobain (vokalis Nirvana) saja bisa memiliki prinsip : “Aku lebih baik dibenci sebagai diriku sebenarnya, daripada jadi munafik untuk disukai banyak orang.” Kelak anak harus mampu memahami bahwa di dunia ini akan ada yang suka atau membenci kita dan itu adalah hal yang amat wajar. Anak jangan sampai memaksakan diri dalam suatu hal dengan alasan: khawatir orang lain marah, takut dijauhi, tak mau dibenci dan dimusuhi, dsb. Didiklah anak untuk “kuat” dalam menghadapi konsekuensi atas pilihan sikapnya sendiri. Ini sangat penting, karena bisa berkaitan dengan kemampuan anak kita dalam memperjuangkan kebenaran kelak. Bila sudah penakut dan peragu, KEBENARAN bisa tenggelam karena “kalah”diperjuangkan.

Anda semua mungkin akan sepakat bahwa hidup dengan syndromet ersebut nampaknya begitu melelahkan. Menipu diri sendiri sekaligus tidak meyakini kemampuan dirinya sendiri. Semoga kita mampu menjadi orang tua yang bijaksana, yang bisa memandang anak-anak kita sebagai manusia biasa, namun istimewa. Menjadi orang tua yang senantiasa dapat menerima dengan lapang dan BAHAGIA atas segala keunikan anak-anaknya..


 Wallahu'alam.

2 komentar:

  1. Balasan
    1. KK GIMANA KALO AKU JADI ANAK IMPOSTER SYNDROME ,,, GMANA CARA MENGATASINYA TLNG BANTUANNYA KK

      Hapus

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com