Bismillah...
IMPOSTER SYNDROME
 (apakah menjangkiti Anda atau anak Anda?)
Secara sederhana, imposter syndrome
 adalah suatu krisis kejiwaan karena merasa bukan orang hebat dan 
kompeten. Mereka yang memiliki permasalahan ini akan merasakan 
kegelisahan yang berlangsung lama karena merasa tidak cakap dalam bidang
 yang digeluti. Penderita imposter syndrome biasanya selalu 
merasagagal, tidak sukses atau tidak mengagumkan. Meskipun sebenarnya 
orang-orang disekitarnya mengakui “keunggulan” dirinya, namun penderita syndrome
 ini akan mengacuhkannya. Tetap merasa tidak sukses, tidak hebat, tidak 
cerdas, dsb. Bilapun kesuksesan ia dapatkan, maka ia akan lebih percaya 
bahwa semua itu adalah faktor keberuntungan belaka. Bahkan, ia merasa 
telah menipu orang lain atas keberhasilan dirinya karena ia tidak pernah
 merasa hebat sesuai dengan apa yang orang lain espektasikan kepadanya. 
Di sisi lain,kondisi imposter syndrome
 bisa sebaliknya. Seseorang yang pada awalnya merasa percaya diri karena
 orang-orang di sekitarnya seolah memberi harapan besar kepada dirinya, 
berespektasi lebih terhadap kemampuannya. Namun, ketika ia menghadapi 
tantangan yang real, di luar dugaan ternyata kemampuannya tidak 
sebaik yang awal ia dan orang lain perkirakan. Pada akhirnya orang 
tersebut malah menjadi down atas kondisi dirinya sendiri dan tidak percaya diri. 
Menurut penelitian, syndrome ini salah satunya disebabkan  oleh “family label”. Family label
 adalah dimana orang tua memberikan julukan atau panggilan tertentu 
kepada anaknya.Misalnya: si anak cengeng, anak manja, anak payah, dsb. 
Label tersebut bisa terbawa sampai ia dewasa kelak, karena orang tua pun
 tidak mengubah persepsi mereka terhadap anaknya tersebut. Oleh sebab 
itu, sang anak menjadi ragu akan kemampuan dirinya sendiri. Atau 
sebaliknya, justru karena orang tua yang terlalu berlebihan dalam memuji
 dan mengunggulkan anaknya. Hal ini menjadikan anak percaya bahwa 
dirinya memang sempurna dan mengesankan. Namun, ternyata realita 
menunjukkan bahwa ternyata sang anak “biasa-biasa saja”, standar atau 
bahkan di bawah rata-rata. Kondisi tersebut membuat ia ragu akan 
persepsi yang telah terbangun. Bisa jadi, demi tetap menjaga image yang sudah ada maka ia akan sengaja menyembuyikan kesulitan-kesulitannya tersebut.
Sungguh
 miris bila banyak anak-anak dengan kondisi yang demikian. Untuk itu, 
maka ajarkanlah anak kita untuk dapat mencintai dirinya sendiri, 
menerima dirinya sendiri apa adanya. Ajarkanlah anak kita untuk bisa  
berdamai dengan segala kondisi yang harus ia hadapi. Ajarkan anak kita 
untuk mampu jujur kepada bisikan nuraninya sendiri. Ajarkanlah anak kita
 untuk dapat tulus.. melakukan sesuatu karena memang dorongan hatinya 
sendiri. Melakukan sesuatu karena berdasar apa yang ia pahami dan 
yakini. Dengan demikian, anak kita akan menjadi sosok yang percaya diri,
 mandiri, senantiasa optimis, jujur  dan pandai bersyukur. 
Janganlah
 kita memberikan “label” negatif  terhadap anak karena perilaku mereka 
 yang kurang berkenan di hati kita. Bagaimanapun, mereka tetaplah 
anak-anak. Segala polah tingkah anak, adalah reaksi keluguan mereka, 
orang tualah yang memberikan arahan dan pengertian. Apa yang dilakukan 
anak, tidak semata orisinil mereka lakukan sendiri, karena mereka 
meneladani apa yang mereka lihat dan dengar.  Jangan pula memuji anak 
terlalu berlebihan,bahkan demi sekedar membesarkan hatinya. Berikanlah 
motivasi yang membangun dan menguatkan. Jangan menaruh obsesi tertunda 
kita pada anak. Jangan terlalu memberikan harapan-harapan “tinggi”  dan 
standar DAHSYAT kepada anak kita, karena bisa jadi hal tersebut menjadi 
beban tersendiri di benak mereka. Janganlah menuntut kesempurnaan pada 
anak-anak kita,karena mereka adalah mahluk kecil yang mempunyai 
kelebihan sekaligus keterbatasan. 
Saya kembali 
memaknai kalimat “mulailah dari diri sendiri”. Ternyata bila kita belum 
tuntas untuk “membentuk” dan “menempa” diri menjadi manusia yang penuh 
integritas,maka sebetulnya kita tidak akan dapat “memberikan” sesuatu 
kepada orang lain disekitar kita secara optimal. Misal:  Orang yang 
belum bisa jujur kepada dirinya sendiri, berarti sulit pula untuk jujur 
kepada orang lain. Orang yang tidak terbiasa untuk menunaikan tanggung 
jawab (untuk kehidupan) pribadi dengan baik,maka  akan dipertanyakan 
pula rasa tanggung jawabnya terhadap  sesuatu yanglebih besar ranahnya, 
dsb.  Pembentukan pribadi dan karakter yang kuat pada anak sangat 
menentukan masa depannya.
Ironis, kejujuran anak 
kadangkala  malah membuahkan amarah,caci maki atau pandangan negatif 
lainnya. Akhirnya anak berkesimpulan, lebihbaik saya berbohong dan 
“selamat” daripada jujur tapi kena “semprot” orang tua.Anak-anak akan 
mengutamakan “pandangan baik” dari orang lain, sekalipun itu membohongi 
dan membebani diri mereka sendiri.  Mereka jadi “tuli” akan kata hati 
mereka,bahkan menjadi “buta rasa” karena tidak tahu apa yang mereka 
inginkan. Yang adadi benak mereka adalah “saya tidak mau mengecewakan 
orang lain” sekalipun itu diluar kemampuan mereka. Maka terbentuklah 
generasi dengan mental hipokrit.
Seorang 
KurtCobain (vokalis Nirvana) saja bisa memiliki prinsip : “Aku lebih 
baik dibenci sebagai diriku sebenarnya, daripada jadi munafik untuk 
disukai banyak orang.” Kelak anak harus mampu memahami bahwa di dunia 
ini akan ada yang suka atau membenci kita dan itu adalah hal yang amat 
wajar. Anak jangan sampai memaksakan diri dalam suatu hal dengan alasan:
 khawatir orang lain marah, takut dijauhi, tak mau dibenci dan dimusuhi,
 dsb. Didiklah anak untuk “kuat” dalam menghadapi konsekuensi atas 
pilihan sikapnya sendiri. Ini sangat penting, karena bisa berkaitan 
dengan kemampuan anak kita dalam memperjuangkan kebenaran kelak. Bila 
sudah penakut dan peragu, KEBENARAN bisa tenggelam karena 
“kalah”diperjuangkan.
Anda semua mungkin akan sepakat bahwa hidup dengan syndromet
 ersebut nampaknya begitu melelahkan. Menipu diri sendiri sekaligus 
tidak meyakini kemampuan dirinya sendiri. Semoga kita mampu menjadi 
orang tua yang bijaksana, yang bisa memandang anak-anak kita sebagai 
manusia biasa, namun istimewa. Menjadi orang tua yang senantiasa dapat 
menerima dengan lapang dan BAHAGIA atas segala keunikan anak-anaknya..
 Wallahu'alam.

keren
BalasHapusKK GIMANA KALO AKU JADI ANAK IMPOSTER SYNDROME ,,, GMANA CARA MENGATASINYA TLNG BANTUANNYA KK
Hapus