Bismillah..
NASIB (anak) PENGAMEN..
Almost everyday,
saya melakukan “perjalanan”. Mulai dari kegiatan rutin, hingga yang accidental. Saya adalah penikmat
transportasi publik (yang otomatis hanya sebagai penumpang), sehingga saya
mempunyai “kesempatan” yang lebih banyak untuk melakukan kegiatan lain di dalam
kendaraan, misal: membaca, ngemil atau sekedar cek BB. Tapi, tidak jarang di
saat seperti itu saya mengalami ketidaksinkronan pikiran, hati dan penglihatan
alias tidak fokus (melamun). Suatu hari, pikiran sempat menerawang karena tidak
melakukan aktifitas “jelas” di dalam kendaraan umum. Namun,  kondisi tersebut seketika berganti menjadi
perhatian yang cukup serius pada suatu pemandangan khas jalanan yakni “komunitas
pengamen”. 
Hal
yang membuat saya tergelitik untuk berpikir mendalam adalah “siapa yang
bertanggungjawab atas keberadaan mereka?”. Saya merasa miris, ketika
bocah-bocah kecil yang lugu itu mesti turun tumpah ke jalanan membantu
“meramaikan” usaha orang tua mereka. Tanpa saya sadari, saya pun ternyata mengikuti
“perkembangan” mereka. Pengamen yang dulunya masih balita itu, sekarang sudah
usia sekolah dasar (nampaknya) dan bisa menggandeng adiknya yang lebih kecil
lagi untuk turut “bermain” bersama di jalanan. Saya melihat, pengamen wanita
yang mungkin usianya (seharusnya) masih usia sekolah menengah, namun sudah
berbadan dua bahkan ada juga yang tengah menggendong anaknya. Di sudut lain,
para pemudanya sibuk dengan kepulan asap rokok atau asyik masyuk dengan aroma
lem aibon yang memabukan.
 Saya kembali iseng bertanya dalam hati, “mereka
sudah beranak-pinak, apa mereka menikah secara sah gak yaa? Atau mau nikah tapi
gak punya biaya cukup?”. Mungkin ini yang dinamakan “miskin sosial-kultural”, kemiskinan
yang “diyakini” akan turun-temurun keberlangsungannya. Mempunyai orang tua
pengamen, maka anak-anaknya pun akan menjadi pengamen (pandangan yang sempit). Entahlah,
nampaknya kasus seperti “Elang” sang pengamen mujur yang sekarang menjadi
artis, mungkin hanya 1 dalam 1000.
 Sedih juga ketika membanyangkan “garis
keturunan” (khususnya generasi penerus) dari para pengamen ini mewarisi mindset yang sama. Mau sampai kapan?
Ibarat lingkaran setan, rantai erat yang harus segera diputus. Lalu,  dibenak saya timbul pertanyaan baru: siapa
yang mau memutuskannya?. Yup, nurani kepedulian kita terhadap anak bangsa
kembali diuji. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kondisi ini. Saya jadi
teringat suatu penggalan ayat suci, yang kurang lebih intinya seperti ini:  bahwa sesungguhnya anak-anak itu dilahirkan
dalam keadaan suci. Orang tuanya lah yang “memberi warna” terhadap mereka. Ya,
bisa dibayangkan bila para pengamen ini (yang sudah menjadi orang tua)
mempunyai sudut pandang yang seragam atas “takdir hidup” mereka, seumur-umur
akan terbangun “imperium pengamen”.
Hm,
ya bagaimana mereka bisa pintar apabila edukasi dan gizinya saja tak
terperhatikan, semua alakadarnya. Orang mungkin hanya bisa nyinyir kepada
mereka, termasuk saya. Maka sebaiknya 
kita pun harus mengubah mindset, dari ketidak acuhan menjadi semangat
kepedulian. Peduli itu bentuknya dapat bermacam-macam sesuai kemampuan.
Perubahan memang sulit terjadi tanpa perjuangan. Perlu diingat juga, bagaimana
kita bisa jadi jalan perubahan bagi sekitar, bila diri sendiri enggan untuk
berubah ke arah lebih baik. Jangan hanya bisa berkomentar dan berujar.
Poin
penting yang saya dapatkan dari kisah pengamen ini adalah terkadang tanpa
disadari, orang tua telah menjadikan anak-anaknya sebagai komoditas bisnis.
Anak-anak yang seharusnya bermain dengan gembira, terpaksa harus mengamen di
bawah teriknya sinar matahari dan diantara tebalnya polusi. Hal tersebut
sebetulnya tidak hanya terjadi di jalanan. Pada kenyataannya ada saja orang tua
yang melimpahkan obsesinya yang tertunda kepada sang anak dan mengeksploitasi
mereka. Anak dipaksa untuk melakukan aktifitas yang tidak mereka senangi,
bahkan terkadang disertai ancaman. Maka, memori masa kecil hanyalah
penggalan-penggalan kisah yang memilukan..
Setiap
perjalanan yang kita lakukan, sejatinya dapat menjadi ajang mentadaburi alam
ini. Bisa lebih membuka mata dan mengasah rasa. IQRA....bacalah! Kita memang
diperintahkan untuk pandai “membaca”, termasuk membaca realita sosial yang
terjadi di sekitar kita. Peduli terhadap keluarga, terhadap sesama juga ANAK
bangsa!
Nb: 
Artikel ini bertujuan mengguggah
kepedulian sosial, juga memusatkan perhatian pada subjek ANAK. Kita pada saat
ini adalah hasil akumulasi dari pendidikan dan pengasuhan ketika kanak-kanak.
Bagaimana masa kecil seseorang, sedikit banyak berpengaruh bagi masa depan
dirinya. Oleh karena itu, setelah artikel ini Insya Allah akan terus disajikan berbagai
tulisan terkait parenting.. yang enak disantap bagi Anda. Bila isu moral dan
karakter mulai kembali muncul ke permukaan, ini petanda bahwa orang-orang mulai
memahami bahwa “masa depan cerah” itu harus dipersiapkan dengan baik sejak
kecil (anak-anak). Semoga bermanfaat, salam! 
^^v

0 komentar:
Posting Komentar