Senin, 06 Januari 2014

NASIB (anak) PENGAMEN..

0



 Bismillah..

NASIB (anak) PENGAMEN..

Almost everyday, saya melakukan “perjalanan”. Mulai dari kegiatan rutin, hingga yang accidental. Saya adalah penikmat transportasi publik (yang otomatis hanya sebagai penumpang), sehingga saya mempunyai “kesempatan” yang lebih banyak untuk melakukan kegiatan lain di dalam kendaraan, misal: membaca, ngemil atau sekedar cek BB. Tapi, tidak jarang di saat seperti itu saya mengalami ketidaksinkronan pikiran, hati dan penglihatan alias tidak fokus (melamun). Suatu hari, pikiran sempat menerawang karena tidak melakukan aktifitas “jelas” di dalam kendaraan umum. Namun,  kondisi tersebut seketika berganti menjadi perhatian yang cukup serius pada suatu pemandangan khas jalanan yakni “komunitas pengamen”. 

Hal yang membuat saya tergelitik untuk berpikir mendalam adalah “siapa yang bertanggungjawab atas keberadaan mereka?”. Saya merasa miris, ketika bocah-bocah kecil yang lugu itu mesti turun tumpah ke jalanan membantu “meramaikan” usaha orang tua mereka. Tanpa saya sadari, saya pun ternyata mengikuti “perkembangan” mereka. Pengamen yang dulunya masih balita itu, sekarang sudah usia sekolah dasar (nampaknya) dan bisa menggandeng adiknya yang lebih kecil lagi untuk turut “bermain” bersama di jalanan. Saya melihat, pengamen wanita yang mungkin usianya (seharusnya) masih usia sekolah menengah, namun sudah berbadan dua bahkan ada juga yang tengah menggendong anaknya. Di sudut lain, para pemudanya sibuk dengan kepulan asap rokok atau asyik masyuk dengan aroma lem aibon yang memabukan.

 Saya kembali iseng bertanya dalam hati, “mereka sudah beranak-pinak, apa mereka menikah secara sah gak yaa? Atau mau nikah tapi gak punya biaya cukup?”. Mungkin ini yang dinamakan “miskin sosial-kultural”, kemiskinan yang “diyakini” akan turun-temurun keberlangsungannya. Mempunyai orang tua pengamen, maka anak-anaknya pun akan menjadi pengamen (pandangan yang sempit). Entahlah, nampaknya kasus seperti “Elang” sang pengamen mujur yang sekarang menjadi artis, mungkin hanya 1 dalam 1000.

 Sedih juga ketika membanyangkan “garis keturunan” (khususnya generasi penerus) dari para pengamen ini mewarisi mindset yang sama. Mau sampai kapan? Ibarat lingkaran setan, rantai erat yang harus segera diputus. Lalu,  dibenak saya timbul pertanyaan baru: siapa yang mau memutuskannya?. Yup, nurani kepedulian kita terhadap anak bangsa kembali diuji. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kondisi ini. Saya jadi teringat suatu penggalan ayat suci, yang kurang lebih intinya seperti ini:  bahwa sesungguhnya anak-anak itu dilahirkan dalam keadaan suci. Orang tuanya lah yang “memberi warna” terhadap mereka. Ya, bisa dibayangkan bila para pengamen ini (yang sudah menjadi orang tua) mempunyai sudut pandang yang seragam atas “takdir hidup” mereka, seumur-umur akan terbangun “imperium pengamen”.

Hm, ya bagaimana mereka bisa pintar apabila edukasi dan gizinya saja tak terperhatikan, semua alakadarnya. Orang mungkin hanya bisa nyinyir kepada mereka, termasuk saya. Maka sebaiknya  kita pun harus mengubah mindset, dari ketidak acuhan menjadi semangat kepedulian. Peduli itu bentuknya dapat bermacam-macam sesuai kemampuan. Perubahan memang sulit terjadi tanpa perjuangan. Perlu diingat juga, bagaimana kita bisa jadi jalan perubahan bagi sekitar, bila diri sendiri enggan untuk berubah ke arah lebih baik. Jangan hanya bisa berkomentar dan berujar.

Poin penting yang saya dapatkan dari kisah pengamen ini adalah terkadang tanpa disadari, orang tua telah menjadikan anak-anaknya sebagai komoditas bisnis. Anak-anak yang seharusnya bermain dengan gembira, terpaksa harus mengamen di bawah teriknya sinar matahari dan diantara tebalnya polusi. Hal tersebut sebetulnya tidak hanya terjadi di jalanan. Pada kenyataannya ada saja orang tua yang melimpahkan obsesinya yang tertunda kepada sang anak dan mengeksploitasi mereka. Anak dipaksa untuk melakukan aktifitas yang tidak mereka senangi, bahkan terkadang disertai ancaman. Maka, memori masa kecil hanyalah penggalan-penggalan kisah yang memilukan..

Setiap perjalanan yang kita lakukan, sejatinya dapat menjadi ajang mentadaburi alam ini. Bisa lebih membuka mata dan mengasah rasa. IQRA....bacalah! Kita memang diperintahkan untuk pandai “membaca”, termasuk membaca realita sosial yang terjadi di sekitar kita. Peduli terhadap keluarga, terhadap sesama juga ANAK bangsa!


Nb:
Artikel ini bertujuan mengguggah kepedulian sosial, juga memusatkan perhatian pada subjek ANAK. Kita pada saat ini adalah hasil akumulasi dari pendidikan dan pengasuhan ketika kanak-kanak. Bagaimana masa kecil seseorang, sedikit banyak berpengaruh bagi masa depan dirinya. Oleh karena itu, setelah artikel ini Insya Allah akan terus disajikan berbagai tulisan terkait parenting.. yang enak disantap bagi Anda. Bila isu moral dan karakter mulai kembali muncul ke permukaan, ini petanda bahwa orang-orang mulai memahami bahwa “masa depan cerah” itu harus dipersiapkan dengan baik sejak kecil (anak-anak). Semoga bermanfaat, salam!  ^^v



0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com