Sabtu, 04 Januari 2014

ANAK dan PERBEDAAN

0

Bismillah..

ANAK dan PERBEDAAN

Melihat kondisi seorang kerabat, Nampak teramat galau dengan hidupnya. Merasa bingung dan kehilangan arah. Pikirannya bergulat sekitar: Apa sih sebetulnya “kemahiran”saya?. Dia juga meng-klaim diri ada “masalah” dengan sisi kognisinya karena merasa berbeda dalam cara belajar. Memaksakan diri  dengan segudang “program regular” yang diasusun sendiri, misal: membaca buku2 textbook, menghafalkan kosakata bahasa asing, membaca Koran, dsb. Tapi..apa yang ia rasa?? “yang ada Cuma pusing, saya gak focus..gak ada yang nempel.” So that , dia merasa semakin terpuruk karena tak mampu belajar “normal”, dengan cara orang pada umumnya. Karena hal tersebut, ia jadi semakin merasa lamban dan –bodoh-.

Di detik-detik masa studinya yang segera berakhir, ia semakin ketar-ketir. Benaknya berputar dan berpikir keras…mau kemanakah saya setelah (kelulusan) ini??. Luluskuliah=menapaki ruang belajar yang lebih nyata, menghadapi masyarakat dan berkontribusi terhadap kehidupan. Pada akhirnya, ketidakmampuan ia dalam menemukan jawaban atas kegalauannya, membuat ia menjadi frustasi. Lambat laun,fisiknya pun seolah “terkuras” karena serangan berbagai gelombang pikiran yang tak jelas. Frustasi, karena ia jadi menyalahkan dirinya atas kondisi yang ia alami.

Merasa salah karena “saya berbeda”, merasa salah karena tidak sesuai dengan “anggapan dan tuntutan keumuman”. Tertekan karena mengejar sesuatu yang dinamakan “prestise”yang terlanjur dikreasikan oleh masyarakat luas. Pemikiran yang sudah kadung“mendarah daging”.. warisan yang terjaga keotentikannya.
Masya Allah,sedih mendapati kembali kisah-kisah seperti ini, yang akhirnya bermuara juga pada system pendidikan di rumah dan nasional. Apa nyambungnya?? Pasti nyambung.

Wahai saudaraku.. kita adalah mahluk social,dimana keberadaan kita pun butuh keterlibatan orang lain, yakni orangtua kita. Pada awalnya, kita semua adalah bayi-bayi mungil yang tak berdaya. Allah “mengirimkan” orangtua, kerabat dan lainnya untuk merawat dan mendidik kita. Yaa, bagi semua orangtua, anak adalah“titipan” berharga.. anugerah yang luar biasa. Oleh karenanya, orangtua wajib memberikan “best effort” terhadap anak-anaknya, termasuk dalam mendidik mereka.

Anak adalah“bahan baku”, material inti yang siap diolah. Jadi, memang tergantung pada“tangan-tangan” yang mengolahnya. Bila tangan tersebut adalah tangan yang “asal dan kasar”, maka akan terbentuk produk yang setara. Rendah secara mutu dan kualitas. Bila diolah oleh tangan-tangan “amatir”, maka akan terbentuk produk yang standar mutunya biasa-biasa saja. Namun, lain halnya bila yang mengolah adalah tangan-tangan “terampil”..maka akan terbentuk produk yang unggul!

Begitupula anak,kondisi mereka sekarang..adalah andil dari tangan-tangan pengolahnya tadi,diantaranya orangtua. Maka, menjadi orangtua terampil mutlak butuh ilmu! Anak itu, berbeda satu sama lainnya dan butuh pemahaman yang baik dari orangtua atas hal ini. Mari kembali pada kisah di awal….
Kondisi dari tokoh dalam kisah tersebut, bisa terjadi apabila orangtua:
  • “menyamaratakan” potensi setiap anak
  • Masih mempunyai pikiran2 jadul tadi (pengejar prestise..), misal: kudu masuk jurusan IPA, harus jago matematika dan B.Inggris, pokoknya masuk ITB, harus ranking 1, mesti jadi PNS…kerja kantoran, jadi dokter, dsb..
Bila orangtua memperlakukan anak-anaknya dengan sikap yang sewarna, maka itu kurang tepat.Anak mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Memperlakukan anakyang pendiam dan sensitive pasti akan beda dengan memperlakukan anak yang bersifat ceria dan terbuka. Selain itu, anak juga mempunyai potensi/ keunggulan yang beraneka ragam. Dengan demikian, ketertarikan mereka akan sesuatu pun akan berbeda.. Anak yang punya potensi menonjol di bidang sastra dan sosial, pasti kurang menyukai pelajaran eksakta, pun sebaliknya. Anak yang mempunyai jiwa seni yang tinggi akan malas bila harus berurusan dengan kimia atau fisika. Perlu dipahami juga, bahwa cara belajar anak visual(dominan melihat/mengamati) - audio(dominan menyimak/mendengar) - kinestetik(dominan dengan gerak/praktik) pun pasti sangatlah berbeda.

 Sayang sekali, karena minimnya ilmu yang dimiliki, maka anak harus menerima dan menjalani masa belajarnya dengan cara yang dipaksakan. Yang lucu, ketidakpahaman orangtua atas kondisi anak, tidak jarang   membuat orangtua meng-klaim bahwa anaklah yang nakal/ bermasalah. Metode belajar yang kurang tepat, akan membuat kontra produktif. Hasil belajar pun jadi kurang optimal. Orangtua benar-benar harus mampu mengenali dan memahami buah hatinya dengan baik.  Hal tersebut berguna agar orangtua dapat mengarahkan dan mengembangkan potensi unggul si anak secara maksimal dan sedini mungkin. Bila potensi sudah tergali, dieksplorasi dan dikembangkan dengan baik,maka akan membuahkan karya dan prestasi. Kedepannya, anak pun akan semakin percayadiri dan mandiri. Dan inilah real outcome dari pembelajaran. Namun,(sekali lagi) sayang.... sistem pendidikan kita pun belum dapat mengakomodasi dan memfasilitasi "potensi" tersebut.

Subhanallah, hal ini menjadi hikmah mengapa Allah menciptakan manusia yang berbeda-beda. Untuk saling mengenal dan bukan saling memperolok-olok. Tapi, masih bisa ditemui para orangtua yang punya “frame jadul” tadi. Ketika anaknya mempunyai potensi dalam melukis dan ingin menjadi pelukis professional, maka orangtua menanggapi dengan nada sinis: “mau hidup dari apa kalau jadi pelukis??uangnya pasti sedikit!Mending daftar PNS atau AKABRI saja sana!.” Anak yang nilai matematikanya rendah disebut sebagai anak bodoh (padahal nilai2 sosial dan seni anak tersebut sangat baik). Orang yang memilih berwirausaha, dianggap sebagai orang yang tak jelas..karena orangtua sangat menjunjung tinggi derajat pekerjaan-pekerjaan “pada umumnya.”  Masya Allah, semoga kita mampu memaknai dengan baik hikmah dibalik penciptaan manusia dengan segala perbedaannya.

Tokoh pada kisahdi awal, bisa jadi merasa frustasi karena tidak mampu memahami perbedaan.Kondisi ini terbentuk dari didikan orangtua yang memang tidak menerima dan tidak memahami perbedaan pada anak-anaknya. Akhirnya anak merasa minder dengan perbedaan yang ada. Hal yang tertanam dibenak tokoh ini tentang perbedaan adalah: bahwa perbedaan itu adalah kesalahan dan kejanggalan. Yaa. Ini tentunya hasil dari penanaman nilai yang dilakukan oleh orangtuanya. Miris, ketika tokohini terpuruk dan mempersalahkan dirinya sendiri. Entah karena merasa gagal karena  tidak mampu mengejar “standar umum” tadi, merasa belum bisa membahagiakan orangtua atas harapan mereka,merasa lamban diantara “kesuksesan” oranglain sebayanya (yang mampu mengoptimalkan potensi dirinya). Akan sangat buruk, bila ternyata pada kondisi terpuruk seperti ini..orangtua si tokoh pun malah turut menekan dan menyalahkan, seolah memang semua terjadi karena ketidakbecusan sang anak semata. Astaghfirullahal’adziim.

Saudaraku,semoga kita mampu menjadi orangtua yang bijaksana dalam menyikapi perbedaan.Semoga kita bisa menjadi orangtua yang senantiasa menjaga amanah Allah dengan sebaik-baiknya.. Mendidik anak-anak kita dengan didikan yang terbaik. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri dalam mencapai kehidupan yang lebih baik.
Semoga Allah senantiasa meridhai.. Allohumma aamiin.


_Salam PARENDU_

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com