Senin, 06 Januari 2014

Mis Karakter Pada Anak (lanjutan)

0

Bismillah..

Mis Karakter Pada Anak (lanjutan)



Suka berteriak dan membentak anak

Marah adalah salah satu "macam" dari suasana hati yang dapat kita alami, termasuk para orang tua. Bisa dikatakan, marah adalah suatu luapan emosi yang wajar terjadi. Ketika seseorang sedang marah, ternyata lebih membutuhkan banyak energi. Jadi, tidak heran bila seseorang sudah reda kemarahannya..ia akan merasakan "sensasi" lelah.. Why? karena marah menyebabkan otot dan syaraf seseorang menjadi tegang, memicu produksi asam lambung, tekanan darah meningkat, denyut jantung semakin cepat, dsb.. yaa, maka tidak heran bila orang yang "hobi" marah-marah akan cepat terserang penyakit.. :). Sekali lagi, marah memang wajar..namun, jangan kemarahan pun mesti dikelola dengan baik, apalagi kaitannya dengan anak.

Anak-anak mempunyai memori yang begitu jernih, sehingga ingatannya kuat. Peristiwa yang terjadi semasa kanak-kanak akan mudah terekam dan tersimpan hingga ia dewasa kelak. Memori tersebut dapat di "recall" sehingga mampu mempengaruhi kehidupannya. Begitu pula dengan kemarahan orang tua. Ada tipe orang tua yang mudah sekali naik darah bila menemukan kesalahan atau ketidak sepahaman dengan anak mereka. Orang tua tipe seperti ini, akan mengedepankan reaksi dari emosi spontannya. Tidak bisa membendung dan ingin cepat melampiaskan. Lebih parah lagi, bila kemarahan tersebut disertai dengan perkataan yang "keras dan kasar"..atau disertai pula dengan kekerasan fisik. Bila itu terbiasa dilakukan orang tua dan terbiasa pula diterima sang anak, maka jangan salahkan anak bila dalam kehidupannya sehari-hari akan menduplikasi "kelakuan" orang tuanya. Anak itu sebetulnya polos dan butuh bimbingan, sehingga mereka cenderung akan bereaksi sesuai dengan perlakuan yang diterima dari orang-orang terdekatnya.

Kurang tepat, jika kita berpikir bahwa kemarahan dapat mendisiplinkan anak-anak. Mungkin anak-anak bisa saja patuh kepada orang tua yang senang marah-marah, namun kepatuhan mereka bukanlah berdasar pada "kesadaran dan pemahaman" tapi lebih karena "ketakutannya'" atas sikap pemarah orang tuanya. Dan tahukah Anda, bahwa rasa takut hanya akan menimbulkan perasaan benci. Maka, tidak sedikit kasus dimana orang tuanya "galak", tapi anak-anaknya tetap saja brutal. Yup, karena ternyata inilah jalan anak-anak tersebut  untuk "melampiaskan" pemberontakan kepada orang tuanya. Pada akhirnya, -patuh di depan- dan -bebas di belakang-.

Kebiasaan marah dan membentak anak pun memiliki dampak yang tidak baik terhadap perkembangan otak anak. Reaksi otak anak ketika dibentak adalah, akan menciut dan sel-selnya pun ada yang melemah dan mati. Masya Allah.. Ternyata harapan besar kita terhadap anak, kadang tidak diimbangi dengan "effort" untuk mengarahkan mereka pada pencapaian "harapan" tersebut. Orang tua benar-benar harus mempunyai pintu shabar dan ikhlas yang begitu luas.. Selalu penuh kasih sayang dan mudha memaafkan. Memang sudah saatnya kita sebagai orang dewasa yang lebih berusaha memahami dunia anak... bukan sebaliknya.


Orang tua yang DIKTATOR

Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang tua menginginkan segala yang terbaik bagi anak-anaknya. Bahkan segalanya akan rela dilakukan dan dikorbankan demi anak tercinta. Akan tetapi, terkadang "breakdown" dari visi tersebut berbuah tindakan/ sikap yang diktator. Orang tua yang bersikap diktator merasa dirinyalah pihak yang selalu BENAR sehingga wajib-kudu untuk dipatuhi perkataan atau pendapatnya, yaa lebih tepatnya PERINTAH-nya.. Meskipun memang betul bahwa orang tua lebih banyak memakan asam-garam kehidupan :)

Hubungan interaksi antara anak dan orang tua yang diktator ibarat komandan dengan prajuritnya. Terbayang amat sangat kaku dan menegangkan. Salah langkah bisa kena tembak... :D. Dalam kondisi seperti ini, anak diposisikan sebagai orang yang tidak mempunyai kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Ironis yaa, masak orang tua yang melanggar HAK ASASI anaknya sendiri.. Anak seolah tidak diberikan kesempatan untuk memberikan pandangannya sendiri, karena dianggap tidak penting.

Yang dikhawatirkan dari semua ini adalah kelak pada saat anak menemui "kehidupan luar" yang lebih heterogen, maka ia akan kesulitan untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan. Anak akan menjadi penakut dan peragu akan pendapatnya sendiri. Anak akan menjadi sosok yang "manut" terhadap keputusan orang lain. Bahkan kadang ia merasa "bingung" sendiri mengapa ia mau melakukan ini dan itu tanpa mampu menolak atau sekedar mengajukan keberatan. Problematika tersebut, dipicu oleh pola didik orang tua yang DIKTATOR.

Sebagai orang tua yang baik, justru seharusnya kita mendidik anak untuk BERANI mengungkapkan pikiran dan perasaannya sejak anak masih kecil. Tentunya dengan cara yang santun pula. Pola ini akan menjadikan anak terbiasa menganalisa tentang suatu hal serta bertanggung jawab atas pilihan yang ia buat sendiri. Anak yang terbiasa "dipaksa menerima komando satu arah", maka daya inisiatif-kritis-kreatifitasnya akan tersumbat. So, mulai saat ini biasakan dan budayakan "saling berbicara dan saling mendengar" di antara anggota keluarga. Biasakan untuk saling terbuka dan sportif dalam menghadapi perbedaan. Ingat, zaman yang dilalui orang tua, berbeda dengan jaman anak-anak kita. Maka terkadang solusi yang kita lakukan pada masalah yang kita hadapi, bisa saja tidak sesuai sebagai penyelesaian masalah yang sama di masa kini. Pengalaman orang tua, memang menjadi "gambaran".. yang cukup berharga, namun bukan menjadi alasan bagi orang tua untuk selalu merasa bahwa "saya lah yang paling berkuasa.."



0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com