Kamis, 18 September 2014

Tri-Tunggal (3 IBU)

0

Tri-Tunggal (3 IBU)


Ibu adalah malaikat yang Allah kirimkan kepada setiap manusia. Malaikat? Ya, manusia berhati malaikat. Jasanya terlampau besar. Aku tak akan pernah bisa membalasnya, tak akan pernah terbalas. Aku sangat menyadari hal ini sepenuh hati. Meski demikian, mengapa terkadang Aku masih saja membuat ibuku sedih. Padahal, Aku juga meyadari bahwa hati ibunda terlalu mulia untuk merasakan kekecewaan dari anaknya. Yaa Allah, ampunilah kami..

Bila berbicara sosok ibu, maka yang muncul di benakku adalah 3 sosok yang berbeda, yaitu: mama, abu dan ibu. Mama adalah panggilan untuk almarhumah ibu kandungku, abu adalah panggilan untuk nenekku sedangkan ibu adalah panggilan untuk ibu tiriku. Ketika masa sekolah, aku sempat mengikuti suatu kegiatan religi. Kemudian saat masuk ke sesi muhasabah, para peserta diminta untuk membayangkan sosok ibu masing-masing. Tahukah? Bahwa ketika itu pikiranku “blank”. Mengapa? Sebab aku bingung memunculkan sosok yang mana. Mama, Abu dan Ibu adalah sosok yang berbeda namun mempunyai ruang yang sama di hatiku. Bagiku, mereka adalah Tri-tunggal, tiga sosok berbeda yang mempunyai satu makna dalam hatiku, yakni seorang IBU.

Mama:

Mama meninggalkanku saat aku masih berusia 5 tahun. Beliau wafat karena kanker payudara yang menggeroti tubuhnya. Tidak terlalu banyak ingatanku tentang beliau. Seumur hidup saja, aku bisa bermimpi untuk bertemu dengannya hanya 2 kali. Hal yang aku ingat dari sosok mama adalah beliau ibu yang amat hangat dan perhatian terhadap anak-anaknya. Mama sangat senang “mendandani” puteri-puterinya, mengajak jalan-jalan ke arena bermain, menjahitkan pakaian (sekaligus pakaian bonekaku), bercerita sebelum aku tidur, humoris, dsb.

Sebetulnya, setelah mengetahui ada genjala kanker payudara, dokter menyarankan agar mama tidak memiliki anak kembali (karena riskan). Akan tetapi, harapan orang tuaku untuk mempunyai anak laki-laki amatlah besar. Sehingga, mama dan papaku tetap berikhtiar untuk mempunyai momongan. Alhamdulillah, pada akhirnya harapan orang tuaku terwujud. Aku dikaruniai seorang adik laki-laki, orang tuaku pun amat bersyukur.

Di antara kebahagiaan yang dirasakan, ternyata perlahan kondisi mama semakin menurun. Aku yang kala itu sedang semangat sekolah (TK) hanya ingin diantar mama saja. Jadi, ketika mama mulai tak berdaya, aku pun merasa kehilangan dan enggan pergi ke sekolah. Mama sempat mengajak anak-anaknya untuk menonton film layar lebar “Ratapan Anak Tiri”. Saya sih memang belum terlalu paham jalan ceritanya, namun sedikit bisa menangkap pesan. Mama juga terkadang tiba-tiba berkata: “Kalau mama sudah gak ada, chika nanti sama Abu yaa..” otomatis aku bilang –tidak mau-, karena dipikiranku, aku hanya ingin bersama mama saja.

Kondisi mama semakin kritis, selalu pulang-pergi rumah sakit. Bila saatnya pulang ke rumah, itu pun hanya sebentar saja, kemudian dilarikan kembali ke rumah sakit. Dari kondisi itu, aku memang sudah mulai merasa “jauh” dengan mama. Jauh, namun aku sangat rindu..rindu untuk berkumpul bersama kembali. Hingga pada akhirnya, Desember 1992 Allah memanggil mama, Allah lebih sayang kepada mama. Mulai saat itu pula, aku belajar mengaji dan konsisten melakukan shalat. Kata orang-orang, biar aku bisa “kirim doa” pada mama. Aku dinasihati untuk menjadi anak baik, shaliha.

Abu:

Sesuai dengan pesan dari almarhumah mama, bahwa sepeninggal beliau, aku dan saudara-saudaraku akan tinggal bersama nenek-kakekku. Mungkin ada yang bertanya: emangnya, ayahku kemana? Ternyata ayahku harus melanjutkan kembali studinya ke luar negeri. Kata nenek sih, daripada kami tinggal di suatu pesantren(mneurut nenek), lebih baik kami tinggal bersama mereka. Ya, dan akhirnya semua terjadi. Semua awalan, pasti butuh pembiasaan. Namun, lambat laun aku dan saudaraku pun menjadi terbiasa, sehingga menganggap nenek seperti ibu kami sendiri.

Subhanallah, Abu adalah wanita yang amat tangguh. Terbayangkah? Anak Abu saja sudah tujuh. Lalu, ditambah mengasuh kami dengan penuh dedikasi. Salah satu hal yang tidak bisa ku lupa adalah, Abu mau menemaniku sekolah di dalam kelas, kurang lebih selama satu bulan. Ya, waktu kecil aku memang anak yang cukup manja dan sulit bersosialisasi.

Soal “jasa” beliau, nampaknya tak terhingga banyaknya. Namun, hal yang harus selalu aku syukuri adalah, berkat beliau pula aku jadi lebih mengenal “dien-ku” sedari kecil. Aku bersyukur telah diajarkan mengaji sejak usia pra-sekolah. Aku mengenal bacaan shalat dan surah-surah pendek dari beliau. Bisa dikatakan, beliau adalah orang yang paling berjasa dalam menanamkan aqidah islamiyah kepadaku.

Dari Abu, aku belajar tentang keshabaran, ketangguhan, pengorbanan dan ketulusan (cinta tanpa syarat). Bila aku merasa mempunyai kesalahan, alhamdulillah aku selalu meminta maaf kepada beliau. Namun, apa yang beliau katakan? “Emang ada salah apa? Semua sudah dimaafkan..” Bila ada aku ada berbagai banyak aktivitas di luar rumah, beliau mengizinkan hanya dengan catatan: jangan lupa makan! Bila aku sakit, beliau amat telaten berupaya merawatku. Bila beliau tahu bahwa aku sedan mengerjakan tugas dari pekerjaanku, kadang beliau meng-handle “tugas rumah” yang seharusnya menjadi jatahku, alasannya: biar tidak mengganggu konsentrasi. Dan ketika hingga saat ini, aku belum dipertemukan dengan –jodohku-, beliau lah yang menitikkan air mata dalam doa tulusnya. Subhanallah.

Sekarang, Abu sudah berusia 78 tahun. Beliau masih bisa beraktivitas “lebih” dibanding nenek lain seusianya. Meski, memang sudah banyak keluhan tentang kondisi tubuh dan kesehatannya. Abu-ku tetap rajin mengaji, tahajud bila beliau mampu, shalat dhuha, terkadang membaca koran, masih bisa memasak dan diajak berdiskusi. Semoga Abu selalu diberikan keberkahan usia, Allohumma aamiin.

Ibu:

Ibu adalah sosok wanita modern dan independen. Ayahku bertemu beliau ketika sedang melanjutkan studi. Ayah sedang sekolah “doktoral” dan ibu sedang mengejar gelar “master.” Ya, ibuku berpendidikan tinggi. Beliau adalah seorang dosen di salah satu universitas negeri di Depok. Aku dan orang tuaku, tidak dalam satu rumah. Sebab, hingga sekarang aku tetap tinggal bersama nenekku. Meski kondisi keluarga kami cukup unik, kami tetap mencoba selalu berkomunikasi. Apalagi sekarang teknologi pun sudah semakin canggih.

Jujur, aku sempat merasakan kekakuan dalam berinteraksi dengan beliau. Wajar sih, karena memang jarang berjumpa dan berinteraksi langsung. Tapi, in syaa Allah liburan Ramadhan-Idul Fitri adalah moment wajib berkumpul. Mencoba saling mengoptimalkan waktu senggang untuk lebih memahami satu sama lain. Intensitas pertemuan yang relatif jarang, sangat memungkinkan membuat kami kurang saling memahami karakter. Namun, in syaa Allah semakin kemari, semua anggota keluarga dapat berpikir lebih bijaksana.

Tahukah? Bahwa aku tidak mendapatkan saudara tiri dari beliau. Waktu dulu, aku hanya menganggap bahwa mungkin karena beliau sibuk dengan karier, sehingga khawatir kurang optimal bila mempunyai anak kecil. Namun, ternyata alasannya amat membuatku terharu sekaligus tertampar hati. Alasan beliau tidak memiliki anak kandung adalah: karena dahulu ingin menjaga “perasaan” kami yang masih kecil, padahal beliau bisa saja mempunyai anak dan (pasti di hati yang terdalam) ingin mempunyai anak kandung. Kemudian, waktu semakin berganti, ibu merasa usianya tidak muda lagi sehingga akan riskan bila mempunyai anak lagi. Akhirnya, hingga sekarang ibuku tidak memiliki anak kandung. Itu adalah bentuk pengorbanan besar seorang ibu tiri demi kami, anak-anak tirinya. Dan suatu bentuk pilihan hidup yang tidak beliau sesali. Subhanallah.

Ibu adalah sosok yang mengajarkan aku tentang indahnya kebersamaan (soliditas), berbagi/ peduli, tata-krama dan kemandirian. Keluarga besar beliau, memiliki sistem kekerabatan yang bagus. Secara berkala mereka selalu mengadakan family gathering sekedar untuk bersliaturahim. Ibu yang mengajarkanku agar lebih mandiri dalam hidup. Senantiasa mendorongku untuk bisa mengoptimalkan segala potensi yang ku miliki. Ibu mengajarkanku untuk bisa “mengurus rumah” dengan baik. Memberikan teladan tentang etika dan indahnya bisa berbagi dengan sesama. Ibu tidak segan-segan untuk memberi bila beliau memang merasa “ada” sesuatu yang bisa diberikan.

Aku bersyukur, bahwa dari ibu lah, Aku dapat memahami apa itu “integritas diri”, yakni adanya kesesuaian antara apa yang kita yakini, ucapkan dan lakukan. Aku pernah mengatakan, aku belum bisa berbhakti kepadanya. Tapi, ibu begitu bijaksana. Beliau menjelaskan bahwa dengan kondisi keluarga kami, biarlah doa tulus dari masing-masing yang menjadi pengikat hati-hati kami. Subhanallah.



Yaa Rabbana, ampunilah dosa kami juga orang tua kami. Hanya Engkaulah sebaik-baiknya pemberi balasan. Berikanlah ibu kami keberkahan dan keselamatan dunia dan akhirat. Perhitungkanlah kemuliaan mereka. Hanya Jannah-MU yang layak untuk aku persembahkan. Semoga aku juga senantiasa menjadi ananda yang shaliha, sehingga doa-harapanku tentang Jannah itu, bisa Allah ijabah. Agar kami bisa bertemu kembali di sana.. Allohumma Aamiin.



0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com