Bismillah..
 
 Dagelan di Hari KARTINI
 
 Kemarin malam, saya sempat menyaksikan beberapa sesi dari suatu acara 
humor di televisi. Karena kemarin bertepatan dengan peringatan “Hari 
Kartini”, maka acara tersebut mengangkat tema seputar perempuan. Tema yang diperbincangkan memang cukup seru, yakni: wanita karier VS ibu rumah tangga. 
 
 Lucu, seru mendengar celotehan-celotehan para narasumber yang jago 
ber-pandir ria. Namun, meski penuh canda-tawa bahasan mereka tetap jelas
 arahannya. Semakin saya coba tangkap isi dari pendapat para narasumber,
 semakin miris juga saya dibuatnya. Pihak narasumber pria, memang 
diposisikan sebagai kubu yang pro dengan “perempuan menjadi ibu rumah 
tangga”. Sedangkan pihak narasumber perempuan begitu bersikukuh bahwa 
para wanita itu harus diberikan “kebebasan untuk berekspresi”, termasuk 
dengan bekerja di luar rumah.
 
  Lho? Ini kan settingan? 
Jawabannya mungkin settingan juga? Ya, settingan di konsep acaranya. 
Akan tetapi, -si empunya acara- tetap mampu mengkondisikan agar jawaban 
narasumber sesuai dengan pandangan dan pemahaman mereka masing-masing. 
Saat itu pun terlihat beberapa narasumber yang terpancing sisi 
emosionalnya.. (padahal ini acara “santai” penuh tawa, hehe)
 
 
Ada yang mengatakan bahwa saat perempuan hanya berada di rumah dan 
menjadi ibu rumah tangga saja, maka ini adalah suatu kemunduran. Ada 
yang mengatakan bahwa “membuatkan kopi” untuk suami adalah hal simple 
yang menunjukkan bahwa suami adalah pihak yang manja dan berkuasa. Ada 
yang mengatakan bahwa ketika perempuan diminta tidak bekerja oleh 
suaminya, maka itu petanda sang suami sedang iri pada istrinya. Ada yang
 mengatakan bahwa suami yang pro istrinya hanya menjadi IRT disebabkan 
karena pria hanya memikirkan kebutuhan dari -perut dan bawah perut- 
sehingga membatasi lingkup peran istri. Ada yang mengatakan bahwa saat 
istri sibuk bekerja karena itu adalah tanda sayang pada anaknya, untuk 
memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya, dsb.
 
 Saya malah salut 
dengan pihak narasumber pria, diantara mereka bahkan ada yang memikirkan
 jauh ke depan tentang masa depan anak. Ada yang memaparkan bahwa 
kebutuhan anak itu bukanlah hanya sekedar MATERI, namun perhatian dan 
kasih sayang orang tuanya. Ada pula yang berpendapat bahwa “saya lebih 
senang melihat KELUARGA SUKSES, daripada istri dengan karier yang 
sukses.” Ada yang mengatakan bahwa bila orang tua sibuk, maka berawal 
lah masalah-masalah di keluarga.
 
 See, ternyata inilah yang di 
maksud dengan –menghayati- semangat KARTINI. Saya kembali berpikir, bila
 hari KARTINI hanya membuat peran seorang ibu menjadi absurd, maka lebih
 baik dihapuskan saja. Ternyata kaum perempuan sudah “gagal paham” 
tentang makna emansipasi. Emansipasi sejatinya bukan berarti menuntut 
kesamaan kewajiban, sebab semua  ada “ranahnya.” Lebih baik anti 
mainstream untuk segala sesuatu yang diragukan kebenarannya.
 
  
Wahai para perempuan, syukurilah terlebih dahulu dengan terlahirnya kau 
sebagai PEREMPUAN. Pahamilah sisi kodrati seorang perempuan. Perempuan 
merupakan mahluk indah yang Allah ciptakan dengan berbagai potensi 
kemuliaan, termasuk dengan peran sebagai seorang IBU. Ibu yang menjadi 
–sekolah pertama- bagi anak-anaknya. Seorang istri dan ibu yang shaliha 
dan penuh kasih sayang.
 
  “Hidup adalah pilihan”, mungkin ada 
yang melihat masalah ini dengan konteks pernyataan tersebut. Kita juga 
memilih sesuatu sesuai dengan believe-value-knowledge serta kemampuan 
yang kita miliki. Namun, kita juga harus sadari dan pahami bahwa 
diantara alternatif pilihan yang bisa kita ambil, selalu terdapat 
PILIHAN yang paling UTAMA. Mengapa? karena –pilihan- tersebut lebih 
memiliki banyak KEUTAMAAN PAHALA dari Allah, Swt. Inshaa Allah..

0 komentar:
Posting Komentar