Jumat, 19 September 2014

Titik Balik

0


 Titik Balik


Apa yang Allah tetapkan, tidak akan pernah ada yang luput dari hikmah. Saya membayangkan, saat orang tua tetap dalam "kebijaksanaannya."..dan seorang anak tetap dengan kekanak-kanakannya, maka hubungan ortu-anak tidak menemukan situasi "titik balik."

Anak akan bertumbuh dan akan semakin dewasa pemikirannya. Sedangkan orang tua menjadi sebaliknya. Orang tua kelak semakin renta, namun wataknya malah kembali seperti seorang anak, misal: menjadi mudah tersinggung, emosional, ingin diperhatikan lebih, ingin selalu ditemani, dsb.

Di titik ini, saya jadi teringat dengan petikan kalimat dari buku "Anak juga Manusia" yang intinya: sebetulnya saat kita anak-anak, kita sedang mempelajari cara memperlakukan ortu kita kelak, dari cara mereka mendidik kita. Nah, bila kita tidak "melek" akan ilmu agama (terutama bab bhakti terhadap orang tua) dan ilmu ke-parenting-an..maka biasanya pola didik (yang salah sekalipun) cenderung terulang kembali. Termasuk saat kita memperlakukan orang tua.

Ketika orang tua kita menjadi "childish", maka secara tidak langsung kita pun sedang Allah uji menjadi sesosok orangtua. Bila kita tidak melek ilmu, maka akan terjadi -episode pembalasan-. Saat orang tua butuh kita, kita cuma cukup mengganti dengan materi. Saat orang tua membutuhkan kita, kita selalu dalam kondisi sibuk. Saat orang tua menuntut sesuatu dari kita, kita cukup meminta mereka untuk memahami kondisi kita, dsb. Meskipun perlakuan ini terjadi karena duplikasi dari apa yang kita dapatkan dari orang tua kita dahulu. Dalam beramal, selalu ada pilihan paling mulia, dari segala alternatif pilihan yang ada.

Yaa Rabb, semoga Engkau menjadikan kami sebagai anak yang senantiasa berbhakti dan memuliakan orang tua hingga akhir hayat mereka. Terlepas bagaimana perlakuan mereka terhadap kami. Dan semoga kami mampu menjadi orang tua yang shaleh bagi putera/ puteri kami kelak.. Berusaha memberikan segala yang terbaik..

"Yaa Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka, seperti mereka menyayangiku sejak kecil..."

Allohumma Aamiin..

Parenting? Penting!

0

"Parenting? Penting! "


Ada peristiwa-peristiwa MENARIK, yang kadang membuat nalar kita terstimulus utk brpikir.. Hati kita tergugah utk bisa 'sedikit' peduli.. Berputar-putar dgn sederet pertanyaan. Mencoba mncari jawaban.. Kemudian menata jawaban itu mnjadi sebuah kesimpulan. Kesimpulan smntara yg mgkn blm tntu mjadi kebenaran.. Namun, bsa pula mnjadi setitik pencerahan.

Saya baru teringatkan kembali, oleh kalimat "Jangan merasa cukup hanya menjadi orang BAIK, tapi juga harus menjadi orang yang ber-ILMU.." (dan tentu saja beriman..). Kalimat ini bisa saya sambungkan dgn suatu peristiwa yg menurut saya "menarik" tadi. Yup, saya sudah "bertemu" dgn peristiwa menarik terkait parenting.

Kita semua, pasti tidak akan menyangkal bahwa teladan adalah bahasa yang paling efektif. Namun, perlu kita ingat juga..bahwa keteladanan pun butuh penjelasan, butuh arahan, butuh pemahaman. Apalagi terhadap anak kecil, amat penting bagi orang tua untuk menjelaskan alasan dari setiap tindakan.

Beberapa kali saya menemukan kasus serupa. Keteladanan tnpa dipahamkan. Atau, semacam kebaikan yang tidak "diwariskan". Suatu perbuatan baik, yang sudah dilakukan oleh orang tua..namun tidak ditransformasikan kepada anak-anaknya. Walhasil, keluarga seperti ini cenderung akan seragam kondisinya. Pihak orang tua akan lebih sering menjadi "pemeran utama". Sedangkan anak-anak, hnya figuran yg tersisihkan.

Bisa jadi atas dasar sayang, bisa jadi atas dasar tidak tega, bisa saja karena orang tua merasa "masih kuat dan masih bisa", dsb. Misalnya: orang tua rajin shalat, tapi anaknya tak dibangunkn shalat shubuh, karena khawatir istrhat sang anak trganggu. Atau, sang ortu amat exist, bnyak peran dan kntribusinya. Tapi di sisi lain, lupa utk mengajarkan anaknya percaya diri..bahkan sekedar menyambut tamu yang datang ke rumah. Seorang ibu yg jago masak dan menata rumah, namun tdak mberikan ksmpatan bgi anaknya utk memiliki ktrampilan yg sama. Yang ada, sang ibu lbh memlih sibuk sndiri dripda dibantu, karena khawatir hasilnya tak sesuai harapan. (sebab, ortu kadang menuntut kesempurnaan dari anaknya..)

Contoh di atas, hnya secuil dari kenyataan di lapangan. Hal-hal seperti inilah yang dinamakan "kebaikan yang menjerumuskan." Orang tua sibuk berbuat kebaikan, namun lupa memberikan anak-anaknya sebuah pendidikan. Jadi, yg ingin saya tekankan disini adalah: "saat orang tua baik, anaknya belum tentu baik juga." Ortu2 tsb memang baik, namun bisa jadi blum cukup ilmu. Yup, bisa saja orang tua berpendidikan tinggi, berpengetahuan agama banyak..namun tnyata belum pnya ckup ilmu perihal mendidik anak-anak mereka. Istilah kerennya, ilmu parenting.

Bagi saya sbgai umat Islam, akan cnderung memilih islamic parenting. Artinya, keilmuan parenting umum n kontemporer yang menjadi padu dgn ilmu keislaman. Sebab, syariat Islam itu justru sbgai "induk" dari setiap ilmu. Ilmu masa kini hnyalah hsil pengembangan. Inti dan awal dari islamic parenting sndiri adalah menanamkan AQIDAH kepada anak-anak kita. Buatlah anak-anak paham bahwa Allah segalanya. Bahkan cinta Allah itu lebih besar daripda cinta orang tua kepada anaknya. Tanamkan rasa cinta n rasa takut yang karenaNya..

Anak-anak itu butuh dididik, dipahamkan. Iman saja tidak bisa "sekonyong-konyong" diwariskan..begitupun dengan kebaikan. Sebab, ada suatu proses didalamnya. Anak nabi Nuh, anak nabi Luth..apakah merka otomatis mewarisi keimanan ayahnya? No! Namun, utk kasus ini..para nabi trsbut bkan tdk bisa mendidik anak..sebab upaya maksimal pun telah mreka lakukan. Krna anak para nabi tersebut telah dewasa, maka kasus ini masuk pada ranah "pilihan hidup".

So, ternyata menjadi orang tua yang baik (untuk diri sendiri) saja tidak cukup.. Jadilah orang tua yang mampu mentransfer kebaikan itu kepada anak-anak kita, dengan mendidik mereka juga. Bila kebingungan bagaimana caranya, tandanya ilmu kita yang memang masih harus di up-grade.. Gali dan pelajari kembali ilmu tentang pengasuhan anak, PARENTING..agar keteladan kita tak tersia dan menghasilkan jejak nyata.

"Janganlah engkau meninggalkan GENERASI yang LEMAH di belakangmu."

*semoga bermanfaat

Kamis, 18 September 2014

Dagelan di Hari KARTINI

0

Bismillah..

Dagelan di Hari KARTINI



Kemarin malam, saya sempat menyaksikan beberapa sesi dari suatu acara humor di televisi. Karena kemarin bertepatan dengan peringatan “Hari Kartini”, maka acara tersebut mengangkat tema seputar perempuan. Tema yang diperbincangkan memang cukup seru, yakni: wanita karier VS ibu rumah tangga.

Lucu, seru mendengar celotehan-celotehan para narasumber yang jago ber-pandir ria. Namun, meski penuh canda-tawa bahasan mereka tetap jelas arahannya. Semakin saya coba tangkap isi dari pendapat para narasumber, semakin miris juga saya dibuatnya. Pihak narasumber pria, memang diposisikan sebagai kubu yang pro dengan “perempuan menjadi ibu rumah tangga”. Sedangkan pihak narasumber perempuan begitu bersikukuh bahwa para wanita itu harus diberikan “kebebasan untuk berekspresi”, termasuk dengan bekerja di luar rumah.

Lho? Ini kan settingan? Jawabannya mungkin settingan juga? Ya, settingan di konsep acaranya. Akan tetapi, -si empunya acara- tetap mampu mengkondisikan agar jawaban narasumber sesuai dengan pandangan dan pemahaman mereka masing-masing. Saat itu pun terlihat beberapa narasumber yang terpancing sisi emosionalnya.. (padahal ini acara “santai” penuh tawa, hehe)

Ada yang mengatakan bahwa saat perempuan hanya berada di rumah dan menjadi ibu rumah tangga saja, maka ini adalah suatu kemunduran. Ada yang mengatakan bahwa “membuatkan kopi” untuk suami adalah hal simple yang menunjukkan bahwa suami adalah pihak yang manja dan berkuasa. Ada yang mengatakan bahwa ketika perempuan diminta tidak bekerja oleh suaminya, maka itu petanda sang suami sedang iri pada istrinya. Ada yang mengatakan bahwa suami yang pro istrinya hanya menjadi IRT disebabkan karena pria hanya memikirkan kebutuhan dari -perut dan bawah perut- sehingga membatasi lingkup peran istri. Ada yang mengatakan bahwa saat istri sibuk bekerja karena itu adalah tanda sayang pada anaknya, untuk memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya, dsb.

Saya malah salut dengan pihak narasumber pria, diantara mereka bahkan ada yang memikirkan jauh ke depan tentang masa depan anak. Ada yang memaparkan bahwa kebutuhan anak itu bukanlah hanya sekedar MATERI, namun perhatian dan kasih sayang orang tuanya. Ada pula yang berpendapat bahwa “saya lebih senang melihat KELUARGA SUKSES, daripada istri dengan karier yang sukses.” Ada yang mengatakan bahwa bila orang tua sibuk, maka berawal lah masalah-masalah di keluarga.

See, ternyata inilah yang di maksud dengan –menghayati- semangat KARTINI. Saya kembali berpikir, bila hari KARTINI hanya membuat peran seorang ibu menjadi absurd, maka lebih baik dihapuskan saja. Ternyata kaum perempuan sudah “gagal paham” tentang makna emansipasi. Emansipasi sejatinya bukan berarti menuntut kesamaan kewajiban, sebab semua ada “ranahnya.” Lebih baik anti mainstream untuk segala sesuatu yang diragukan kebenarannya.

Wahai para perempuan, syukurilah terlebih dahulu dengan terlahirnya kau sebagai PEREMPUAN. Pahamilah sisi kodrati seorang perempuan. Perempuan merupakan mahluk indah yang Allah ciptakan dengan berbagai potensi kemuliaan, termasuk dengan peran sebagai seorang IBU. Ibu yang menjadi –sekolah pertama- bagi anak-anaknya. Seorang istri dan ibu yang shaliha dan penuh kasih sayang.

“Hidup adalah pilihan”, mungkin ada yang melihat masalah ini dengan konteks pernyataan tersebut. Kita juga memilih sesuatu sesuai dengan believe-value-knowledge serta kemampuan yang kita miliki. Namun, kita juga harus sadari dan pahami bahwa diantara alternatif pilihan yang bisa kita ambil, selalu terdapat PILIHAN yang paling UTAMA. Mengapa? karena –pilihan- tersebut lebih memiliki banyak KEUTAMAAN PAHALA dari Allah, Swt. Inshaa Allah..

Pendidik

0

Bismillah..

Pendidik



Siapakah pendidik itu? Mungkin diantara Anda ada yang menjawab guru? Orang tua? Dosen? Ya, jawaban tersebut memang tidak ada yang salah. Namun, menurut saya yang dikatakan sebagai pendidik itu adalah mereka yang mampu memberikan edukasi kepada orang-orang di sekitarnya. Bagi saya, “pendidik” itu masuk ke dalam ranah sifat atau jiwa, tidak selalu sebagai profesi.

Ada yang berprofesi sebagai pendidik, namun pada kenyataannya yang dia lakukan hanyalah proses –pengajaran-. Jadi, sebenarnya ia bukan pendidik, namun pengajar. Pengajar itu hanya memposisikan diri sebagai pihak yang sekedar mentransfer ilmu yang ia miliki kepada muridnya. Betul-betul sekedar melakukan pekerjaan dengan niat menggugurkan kewajiban semata. Tidak ada proses bimbingan, pengarahan, pemahaman yang benar, dsb. Begitu pula dengan mereka yang memiliki predikat sebagai “orang tua”, apa sudah menjadi sosok pendidik bagi anak-anaknya? Bahkan sering ditemui bahwa orang tua hanya sekedar menjadi “mesin pencari nafkah”, sedangkan sang anak dititipkan pada baby sitter atau asisten rumah tangga. Betulkah begitu?

Dengan demikian, pendidik itu adalah JIWA,segenggam jiwa yang tergerak karena KEPEDULIAN. Peduli adalah kinerja hati. Inilah yang menjadi pembeda dasar antara pendidik dengan pengajar, karena pendidik itu selalu menggunakan HATI.

Saya dikelilingi oleh orang-orang yang mempunyai jiwa pendidik. Mereka bukanlah seorang guru, dosen, dsb. Tidak mempunyai background yang “nyambung” dengan pendidikan. Namun, mereka adalah orang-orang yang memiliki concern pada hal-hal tertentu yang menurut mereka penting untuk diedukasikan kepada banyak orang. Sehingga mereka peduli dan tergerak untuk “berbagi”. Tidak hanya sekedar berbagi wawasan akan tetapi KEYAKINAN. Sebab, keyakinanlah yang akan membuat seseorang total beramal lalu terjadilah suatu PERUBAHAN.

Meskipun demikian, bukan berarti sudah minimnya guru atau dosen yang berperan sebagai pendidik. Saya yang seorang guru pun, masih mendapatkan kawan-kawan yang amat total dalam menjalankan tugas mulianya sebagai seorang guru. Dan merekalah guru-guru idaman, pencetak generasi JUARA di masa depan. Inshaa Allah. (Guru idaman, guru sejati diantaranya adalah sosok yang menjadi picture artikel ini)

Semoga kita mampu menghidupkan qalbu ini dengan keimanan, melembutkan jiwa ini dengan kepedulian. Sehingga mampu pendidik sejati yang selalu menyertakan HATI dalam setiap amal-gerak kita. Allohumma Aamiin..

Tri-Tunggal (3 IBU)

0

Tri-Tunggal (3 IBU)


Ibu adalah malaikat yang Allah kirimkan kepada setiap manusia. Malaikat? Ya, manusia berhati malaikat. Jasanya terlampau besar. Aku tak akan pernah bisa membalasnya, tak akan pernah terbalas. Aku sangat menyadari hal ini sepenuh hati. Meski demikian, mengapa terkadang Aku masih saja membuat ibuku sedih. Padahal, Aku juga meyadari bahwa hati ibunda terlalu mulia untuk merasakan kekecewaan dari anaknya. Yaa Allah, ampunilah kami..

Bila berbicara sosok ibu, maka yang muncul di benakku adalah 3 sosok yang berbeda, yaitu: mama, abu dan ibu. Mama adalah panggilan untuk almarhumah ibu kandungku, abu adalah panggilan untuk nenekku sedangkan ibu adalah panggilan untuk ibu tiriku. Ketika masa sekolah, aku sempat mengikuti suatu kegiatan religi. Kemudian saat masuk ke sesi muhasabah, para peserta diminta untuk membayangkan sosok ibu masing-masing. Tahukah? Bahwa ketika itu pikiranku “blank”. Mengapa? Sebab aku bingung memunculkan sosok yang mana. Mama, Abu dan Ibu adalah sosok yang berbeda namun mempunyai ruang yang sama di hatiku. Bagiku, mereka adalah Tri-tunggal, tiga sosok berbeda yang mempunyai satu makna dalam hatiku, yakni seorang IBU.

Mama:

Mama meninggalkanku saat aku masih berusia 5 tahun. Beliau wafat karena kanker payudara yang menggeroti tubuhnya. Tidak terlalu banyak ingatanku tentang beliau. Seumur hidup saja, aku bisa bermimpi untuk bertemu dengannya hanya 2 kali. Hal yang aku ingat dari sosok mama adalah beliau ibu yang amat hangat dan perhatian terhadap anak-anaknya. Mama sangat senang “mendandani” puteri-puterinya, mengajak jalan-jalan ke arena bermain, menjahitkan pakaian (sekaligus pakaian bonekaku), bercerita sebelum aku tidur, humoris, dsb.

Sebetulnya, setelah mengetahui ada genjala kanker payudara, dokter menyarankan agar mama tidak memiliki anak kembali (karena riskan). Akan tetapi, harapan orang tuaku untuk mempunyai anak laki-laki amatlah besar. Sehingga, mama dan papaku tetap berikhtiar untuk mempunyai momongan. Alhamdulillah, pada akhirnya harapan orang tuaku terwujud. Aku dikaruniai seorang adik laki-laki, orang tuaku pun amat bersyukur.

Di antara kebahagiaan yang dirasakan, ternyata perlahan kondisi mama semakin menurun. Aku yang kala itu sedang semangat sekolah (TK) hanya ingin diantar mama saja. Jadi, ketika mama mulai tak berdaya, aku pun merasa kehilangan dan enggan pergi ke sekolah. Mama sempat mengajak anak-anaknya untuk menonton film layar lebar “Ratapan Anak Tiri”. Saya sih memang belum terlalu paham jalan ceritanya, namun sedikit bisa menangkap pesan. Mama juga terkadang tiba-tiba berkata: “Kalau mama sudah gak ada, chika nanti sama Abu yaa..” otomatis aku bilang –tidak mau-, karena dipikiranku, aku hanya ingin bersama mama saja.

Kondisi mama semakin kritis, selalu pulang-pergi rumah sakit. Bila saatnya pulang ke rumah, itu pun hanya sebentar saja, kemudian dilarikan kembali ke rumah sakit. Dari kondisi itu, aku memang sudah mulai merasa “jauh” dengan mama. Jauh, namun aku sangat rindu..rindu untuk berkumpul bersama kembali. Hingga pada akhirnya, Desember 1992 Allah memanggil mama, Allah lebih sayang kepada mama. Mulai saat itu pula, aku belajar mengaji dan konsisten melakukan shalat. Kata orang-orang, biar aku bisa “kirim doa” pada mama. Aku dinasihati untuk menjadi anak baik, shaliha.

Abu:

Sesuai dengan pesan dari almarhumah mama, bahwa sepeninggal beliau, aku dan saudara-saudaraku akan tinggal bersama nenek-kakekku. Mungkin ada yang bertanya: emangnya, ayahku kemana? Ternyata ayahku harus melanjutkan kembali studinya ke luar negeri. Kata nenek sih, daripada kami tinggal di suatu pesantren(mneurut nenek), lebih baik kami tinggal bersama mereka. Ya, dan akhirnya semua terjadi. Semua awalan, pasti butuh pembiasaan. Namun, lambat laun aku dan saudaraku pun menjadi terbiasa, sehingga menganggap nenek seperti ibu kami sendiri.

Subhanallah, Abu adalah wanita yang amat tangguh. Terbayangkah? Anak Abu saja sudah tujuh. Lalu, ditambah mengasuh kami dengan penuh dedikasi. Salah satu hal yang tidak bisa ku lupa adalah, Abu mau menemaniku sekolah di dalam kelas, kurang lebih selama satu bulan. Ya, waktu kecil aku memang anak yang cukup manja dan sulit bersosialisasi.

Soal “jasa” beliau, nampaknya tak terhingga banyaknya. Namun, hal yang harus selalu aku syukuri adalah, berkat beliau pula aku jadi lebih mengenal “dien-ku” sedari kecil. Aku bersyukur telah diajarkan mengaji sejak usia pra-sekolah. Aku mengenal bacaan shalat dan surah-surah pendek dari beliau. Bisa dikatakan, beliau adalah orang yang paling berjasa dalam menanamkan aqidah islamiyah kepadaku.

Dari Abu, aku belajar tentang keshabaran, ketangguhan, pengorbanan dan ketulusan (cinta tanpa syarat). Bila aku merasa mempunyai kesalahan, alhamdulillah aku selalu meminta maaf kepada beliau. Namun, apa yang beliau katakan? “Emang ada salah apa? Semua sudah dimaafkan..” Bila ada aku ada berbagai banyak aktivitas di luar rumah, beliau mengizinkan hanya dengan catatan: jangan lupa makan! Bila aku sakit, beliau amat telaten berupaya merawatku. Bila beliau tahu bahwa aku sedan mengerjakan tugas dari pekerjaanku, kadang beliau meng-handle “tugas rumah” yang seharusnya menjadi jatahku, alasannya: biar tidak mengganggu konsentrasi. Dan ketika hingga saat ini, aku belum dipertemukan dengan –jodohku-, beliau lah yang menitikkan air mata dalam doa tulusnya. Subhanallah.

Sekarang, Abu sudah berusia 78 tahun. Beliau masih bisa beraktivitas “lebih” dibanding nenek lain seusianya. Meski, memang sudah banyak keluhan tentang kondisi tubuh dan kesehatannya. Abu-ku tetap rajin mengaji, tahajud bila beliau mampu, shalat dhuha, terkadang membaca koran, masih bisa memasak dan diajak berdiskusi. Semoga Abu selalu diberikan keberkahan usia, Allohumma aamiin.

Ibu:

Ibu adalah sosok wanita modern dan independen. Ayahku bertemu beliau ketika sedang melanjutkan studi. Ayah sedang sekolah “doktoral” dan ibu sedang mengejar gelar “master.” Ya, ibuku berpendidikan tinggi. Beliau adalah seorang dosen di salah satu universitas negeri di Depok. Aku dan orang tuaku, tidak dalam satu rumah. Sebab, hingga sekarang aku tetap tinggal bersama nenekku. Meski kondisi keluarga kami cukup unik, kami tetap mencoba selalu berkomunikasi. Apalagi sekarang teknologi pun sudah semakin canggih.

Jujur, aku sempat merasakan kekakuan dalam berinteraksi dengan beliau. Wajar sih, karena memang jarang berjumpa dan berinteraksi langsung. Tapi, in syaa Allah liburan Ramadhan-Idul Fitri adalah moment wajib berkumpul. Mencoba saling mengoptimalkan waktu senggang untuk lebih memahami satu sama lain. Intensitas pertemuan yang relatif jarang, sangat memungkinkan membuat kami kurang saling memahami karakter. Namun, in syaa Allah semakin kemari, semua anggota keluarga dapat berpikir lebih bijaksana.

Tahukah? Bahwa aku tidak mendapatkan saudara tiri dari beliau. Waktu dulu, aku hanya menganggap bahwa mungkin karena beliau sibuk dengan karier, sehingga khawatir kurang optimal bila mempunyai anak kecil. Namun, ternyata alasannya amat membuatku terharu sekaligus tertampar hati. Alasan beliau tidak memiliki anak kandung adalah: karena dahulu ingin menjaga “perasaan” kami yang masih kecil, padahal beliau bisa saja mempunyai anak dan (pasti di hati yang terdalam) ingin mempunyai anak kandung. Kemudian, waktu semakin berganti, ibu merasa usianya tidak muda lagi sehingga akan riskan bila mempunyai anak lagi. Akhirnya, hingga sekarang ibuku tidak memiliki anak kandung. Itu adalah bentuk pengorbanan besar seorang ibu tiri demi kami, anak-anak tirinya. Dan suatu bentuk pilihan hidup yang tidak beliau sesali. Subhanallah.

Ibu adalah sosok yang mengajarkan aku tentang indahnya kebersamaan (soliditas), berbagi/ peduli, tata-krama dan kemandirian. Keluarga besar beliau, memiliki sistem kekerabatan yang bagus. Secara berkala mereka selalu mengadakan family gathering sekedar untuk bersliaturahim. Ibu yang mengajarkanku agar lebih mandiri dalam hidup. Senantiasa mendorongku untuk bisa mengoptimalkan segala potensi yang ku miliki. Ibu mengajarkanku untuk bisa “mengurus rumah” dengan baik. Memberikan teladan tentang etika dan indahnya bisa berbagi dengan sesama. Ibu tidak segan-segan untuk memberi bila beliau memang merasa “ada” sesuatu yang bisa diberikan.

Aku bersyukur, bahwa dari ibu lah, Aku dapat memahami apa itu “integritas diri”, yakni adanya kesesuaian antara apa yang kita yakini, ucapkan dan lakukan. Aku pernah mengatakan, aku belum bisa berbhakti kepadanya. Tapi, ibu begitu bijaksana. Beliau menjelaskan bahwa dengan kondisi keluarga kami, biarlah doa tulus dari masing-masing yang menjadi pengikat hati-hati kami. Subhanallah.



Yaa Rabbana, ampunilah dosa kami juga orang tua kami. Hanya Engkaulah sebaik-baiknya pemberi balasan. Berikanlah ibu kami keberkahan dan keselamatan dunia dan akhirat. Perhitungkanlah kemuliaan mereka. Hanya Jannah-MU yang layak untuk aku persembahkan. Semoga aku juga senantiasa menjadi ananda yang shaliha, sehingga doa-harapanku tentang Jannah itu, bisa Allah ijabah. Agar kami bisa bertemu kembali di sana.. Allohumma Aamiin.



"Bahagia di Angkot 05"

0

"Bahagia di Angkot 05" 


Sebetulnya, apa yang saya ceritakan mungkin hal yg biasa saja. Namun, bagi saya..ini adalah kisah yang manis.. Tentang cinta yang sederhana.

Kemarin sore, saya menaiki angkot berkode "05" menuju rumah. Sebelum saya ambil posisi duduk, sang sopir trlihat memberikan anggukan kepala, petanda menghargai penumpang. Oow, tnyata saya adalah penumpang satu-satunya di dalam angkot tsb.

Setelah beberapa saat, saya mendengar sang sopir terlibat percakapan yang seru. Saya kira, beliau sedang berbicara dengan temannya yang sebaya. Eh ternyata, dia sedang ngobrol asyik bersama puteranya yang berusia skitar 5 tahunan.
** tidak semua ayah mampu menciptakan komunikasi yang baik-nyaman, dgn anaknya.

Sang anak sangat antusias bertanya seputar permainan -catur-. Sang ayah pun menjawab dengan penjelasan yang runut. Subhanallah, tidak ada 1 pun prtanyaan yang terlewat oleh sang ayah. Coba teman-teman bayangkan..rata-rata karakter sopir itu kayak gimana sih? Makanya, ini adalah pemandangan yang keren dan langka..
** saya salut, sang ayah ini benar-benar menunjukkan gestur, "bahasa tubuh" yg penuh perhatian thdap anaknya saat btanya. Anak akan betul-betul merasa dihargai..

Saat sang anak mulai bertanya sambil terbata-bata..sang ayah malah "menantang" anaknya utk segera mengingat apa pertanyaan yang ingin diajukan. Misal: "bapak, kalo..hm..hm..kalooo...hmm", sang ayah langsung menyahut "apa..kalo apa ayoo...". Sang anak pun selalu terlihat puas dengan jawaban ayahnya, seraya mengajukan pertanyaan2 baru.
** kebanyakan ortu kan malah "kesal" bila anaknya banyak bertanya. Namun, bapak ini mampu menanggapi prtanyaan anak dg -serius-, bahkan menantang pertanyaan baru.

Saat berhenti di depan sebuah hotel, sang ayah berkata: "Nak, ini tempat orang-orang kaya tidur.. Tuh lihat, mungkin skrg lagi ada hajatan." Sang anak pun kembali mengajukan pertanyaan. "Kenapa pak?", dst. *Dalam hati saya agak miris..
** meski sang ayah berbicara begitu, namun tidak ada kalimat penyerta yg berisikan info-info negatif, tdak memprovokasi, dsb..

1 hal lagi..sang sopir tidak mempertontonkan adegan "menghisap rokok." Bagi saya, ini adalah prestasi. Ayah yang bisa melawan dirinya sndiri utk tidak mendewakan si puntungan pembawa derita itu..
** ayah yang perokok itu, scara tak sadar n tak langsung..sedang membunuh anaknya secara perlahan.

Tahukah? Selama perjalanan, saya pun kerap mengembangkan senyuman.. Senang, melihat keakraban ayah-anak ini. Bahkan, saya betah berada di angkot itu..haha. Saya hafal pula nomor plat angkot tsb.. D 1915..

Sebelum saya turun dari angkot, saya mendengar si anak berkata: "Bapak, nanti makan ayam yaa.." Sang ayah pun tanpa ragu -mengiyakan- permintaan sang jagoannya itu. So..sweet...

Tahukah? Dari pengalaman ini, saya jadi yakin..bahwa salah 1 ungkapan cinta yang sederhana, adalah: dengan MENDENGARKAN. Semoga Allah senantiasa menjaga kehangatan keluarga tersebut. Sang anak menjadi anak yang shaleh dan berbhakti. Pun orangtuanya, menjadi sosok ayah yang bijaksana dan pembelajar. Semoga makin banyak pula sopir yang masih menjunjung tinggi etika dan ramah-tamah. In shaa Allah lebih barakah.. Aamiin.
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com