Tri-Tunggal (3 IBU)
 
 Ibu adalah malaikat yang Allah kirimkan kepada setiap manusia. 
Malaikat? Ya, manusia berhati malaikat. Jasanya terlampau besar. Aku tak
 akan pernah bisa membalasnya, tak akan pernah terbalas. Aku sangat 
menyadari hal ini sepenuh hati. Meski demikian, mengapa terkadang Aku 
masih saja membuat ibuku sedih. Padahal, Aku juga meyadari bahwa hati ibunda terlalu mulia untuk merasakan kekecewaan dari anaknya. Yaa Allah, ampunilah kami..
 
 Bila berbicara sosok ibu, maka yang muncul di benakku adalah 3 sosok 
yang berbeda, yaitu: mama, abu dan ibu. Mama adalah panggilan untuk 
almarhumah ibu kandungku, abu adalah panggilan untuk nenekku sedangkan 
ibu adalah panggilan untuk ibu tiriku. Ketika masa sekolah, aku sempat 
mengikuti suatu kegiatan religi. Kemudian saat masuk ke sesi muhasabah, 
para peserta diminta untuk membayangkan sosok ibu masing-masing. 
Tahukah? Bahwa ketika itu pikiranku “blank”. Mengapa? Sebab aku bingung 
memunculkan sosok yang mana. Mama, Abu dan Ibu adalah sosok yang berbeda
 namun mempunyai ruang yang sama di hatiku. Bagiku, mereka adalah 
Tri-tunggal, tiga sosok berbeda yang mempunyai satu makna dalam hatiku, 
yakni seorang IBU.
 
 Mama:
 
 Mama meninggalkanku saat aku 
masih berusia 5 tahun. Beliau wafat karena kanker payudara yang 
menggeroti tubuhnya. Tidak terlalu banyak ingatanku tentang beliau. 
Seumur hidup saja, aku bisa bermimpi untuk bertemu dengannya hanya 2 
kali. Hal yang aku ingat dari sosok mama adalah beliau ibu yang amat 
hangat dan perhatian terhadap anak-anaknya. Mama sangat senang 
“mendandani” puteri-puterinya, mengajak jalan-jalan ke arena bermain, 
menjahitkan pakaian (sekaligus pakaian bonekaku), bercerita sebelum aku 
tidur, humoris, dsb.
 
 Sebetulnya, setelah mengetahui ada genjala
 kanker payudara, dokter menyarankan agar mama tidak memiliki anak 
kembali (karena riskan). Akan tetapi, harapan orang tuaku untuk 
mempunyai anak laki-laki amatlah besar. Sehingga, mama dan papaku tetap 
berikhtiar untuk mempunyai momongan. Alhamdulillah, pada akhirnya 
harapan orang tuaku terwujud. Aku dikaruniai seorang adik laki-laki, 
orang tuaku pun amat bersyukur.
 
 Di antara kebahagiaan yang 
dirasakan, ternyata perlahan kondisi mama semakin menurun. Aku yang kala
 itu sedang semangat sekolah (TK) hanya ingin diantar mama saja. Jadi, 
ketika mama mulai tak berdaya, aku pun merasa kehilangan dan enggan 
pergi ke sekolah. Mama sempat mengajak anak-anaknya untuk menonton film 
layar lebar “Ratapan Anak Tiri”. Saya sih memang belum terlalu paham 
jalan ceritanya, namun sedikit bisa menangkap pesan. Mama juga terkadang
 tiba-tiba berkata: “Kalau mama sudah gak ada, chika nanti sama Abu 
yaa..” otomatis aku bilang –tidak mau-, karena dipikiranku, aku hanya 
ingin bersama mama saja.
 
 Kondisi mama semakin kritis, selalu 
pulang-pergi rumah sakit. Bila saatnya pulang ke rumah, itu pun hanya 
sebentar saja, kemudian dilarikan kembali ke rumah sakit. Dari kondisi 
itu, aku memang sudah mulai merasa “jauh” dengan mama. Jauh, namun aku 
sangat rindu..rindu untuk berkumpul bersama kembali. Hingga pada 
akhirnya, Desember 1992 Allah memanggil mama, Allah lebih sayang kepada 
mama. Mulai saat itu pula, aku belajar mengaji dan konsisten melakukan 
shalat. Kata orang-orang, biar aku bisa “kirim doa” pada mama. Aku 
dinasihati untuk menjadi anak baik, shaliha.
 
 Abu:
 
 
Sesuai dengan pesan dari almarhumah mama, bahwa sepeninggal beliau, aku 
dan saudara-saudaraku akan tinggal bersama nenek-kakekku. Mungkin ada 
yang bertanya: emangnya, ayahku kemana? Ternyata ayahku harus 
melanjutkan kembali studinya ke luar negeri. Kata nenek sih, daripada 
kami tinggal di suatu pesantren(mneurut nenek), lebih baik kami tinggal 
bersama mereka. Ya, dan akhirnya semua terjadi. Semua awalan, pasti 
butuh pembiasaan. Namun, lambat laun aku dan saudaraku pun menjadi 
terbiasa, sehingga menganggap nenek seperti ibu kami sendiri.
 
 
Subhanallah, Abu adalah wanita yang amat tangguh. Terbayangkah? Anak Abu
 saja sudah tujuh. Lalu, ditambah mengasuh kami dengan penuh dedikasi. 
Salah satu hal yang tidak bisa ku lupa adalah, Abu mau menemaniku 
sekolah di dalam kelas, kurang lebih selama satu bulan. Ya, waktu kecil 
aku memang anak yang cukup manja dan sulit bersosialisasi.
 
 Soal
 “jasa” beliau, nampaknya tak terhingga banyaknya. Namun, hal yang harus
 selalu aku syukuri adalah, berkat beliau pula aku jadi lebih mengenal 
“dien-ku” sedari kecil. Aku bersyukur telah diajarkan mengaji sejak usia
 pra-sekolah.  Aku mengenal bacaan shalat dan surah-surah pendek dari 
beliau. Bisa dikatakan, beliau adalah orang yang paling berjasa dalam 
menanamkan aqidah islamiyah kepadaku.
 
 Dari Abu, aku belajar 
tentang keshabaran, ketangguhan, pengorbanan dan ketulusan (cinta tanpa 
syarat). Bila aku merasa mempunyai kesalahan, alhamdulillah aku selalu 
meminta maaf kepada beliau. Namun, apa yang beliau katakan? “Emang ada 
salah apa? Semua sudah dimaafkan..” Bila ada aku ada berbagai banyak 
aktivitas di luar rumah, beliau mengizinkan hanya dengan catatan: jangan
 lupa makan! Bila aku sakit, beliau amat telaten berupaya merawatku. 
Bila beliau tahu bahwa aku sedan mengerjakan tugas dari pekerjaanku, 
kadang beliau meng-handle “tugas rumah” yang seharusnya menjadi jatahku,
 alasannya: biar tidak mengganggu konsentrasi. Dan ketika hingga saat 
ini, aku belum dipertemukan dengan –jodohku-, beliau lah yang menitikkan
 air mata dalam doa tulusnya. Subhanallah.
 
 Sekarang, Abu sudah 
berusia 78 tahun. Beliau masih bisa beraktivitas “lebih” dibanding nenek
 lain seusianya. Meski, memang sudah banyak keluhan tentang kondisi 
tubuh dan kesehatannya. Abu-ku tetap rajin mengaji, tahajud bila beliau 
mampu, shalat dhuha, terkadang membaca koran, masih bisa memasak dan 
diajak berdiskusi. Semoga Abu selalu diberikan keberkahan usia, 
Allohumma aamiin.
 
 Ibu:
 
 Ibu adalah sosok wanita modern 
dan independen. Ayahku bertemu beliau ketika sedang melanjutkan studi. 
Ayah sedang sekolah “doktoral” dan ibu sedang mengejar gelar “master.” 
Ya, ibuku berpendidikan tinggi. Beliau adalah seorang dosen di salah 
satu universitas negeri di Depok. Aku dan orang tuaku, tidak dalam satu 
rumah. Sebab, hingga sekarang aku tetap tinggal bersama nenekku. Meski 
kondisi keluarga kami cukup unik, kami tetap mencoba selalu 
berkomunikasi. Apalagi sekarang teknologi pun sudah semakin canggih.
 
 Jujur, aku sempat merasakan kekakuan dalam berinteraksi dengan beliau. 
Wajar sih, karena memang jarang berjumpa dan berinteraksi langsung. 
Tapi, in syaa Allah liburan Ramadhan-Idul Fitri adalah moment wajib 
berkumpul. Mencoba saling mengoptimalkan waktu senggang untuk lebih 
memahami satu sama lain. Intensitas pertemuan yang relatif jarang, 
sangat memungkinkan membuat kami kurang saling memahami karakter. Namun,
 in syaa Allah semakin kemari, semua anggota keluarga dapat berpikir 
lebih bijaksana.
 
 Tahukah? Bahwa aku tidak mendapatkan saudara 
tiri dari beliau. Waktu dulu, aku hanya menganggap bahwa mungkin karena 
beliau sibuk dengan karier, sehingga khawatir kurang optimal bila 
mempunyai anak kecil. Namun, ternyata alasannya amat membuatku terharu 
sekaligus tertampar hati. Alasan beliau tidak memiliki anak kandung 
adalah: karena dahulu ingin menjaga “perasaan” kami yang masih kecil, 
padahal beliau bisa saja mempunyai anak dan (pasti di hati yang 
terdalam) ingin mempunyai anak kandung. Kemudian, waktu semakin 
berganti, ibu merasa usianya tidak muda lagi sehingga akan riskan bila 
mempunyai anak lagi. Akhirnya, hingga sekarang ibuku tidak memiliki anak
 kandung. Itu adalah bentuk pengorbanan besar seorang ibu tiri demi 
kami, anak-anak tirinya. Dan suatu bentuk pilihan hidup yang tidak 
beliau sesali. Subhanallah.
 
 Ibu adalah sosok yang mengajarkan 
aku tentang indahnya kebersamaan (soliditas), berbagi/ peduli, 
tata-krama dan kemandirian. Keluarga besar beliau, memiliki sistem 
kekerabatan yang bagus. Secara berkala mereka selalu mengadakan family 
gathering sekedar untuk bersliaturahim. Ibu yang mengajarkanku agar 
lebih mandiri dalam hidup. Senantiasa mendorongku untuk bisa 
mengoptimalkan segala potensi yang ku miliki. Ibu mengajarkanku untuk 
bisa “mengurus rumah” dengan baik. Memberikan teladan tentang etika dan 
indahnya bisa berbagi dengan sesama. Ibu tidak segan-segan untuk memberi
 bila beliau memang merasa “ada” sesuatu yang bisa diberikan.
 
 
Aku  bersyukur, bahwa dari ibu lah, Aku dapat memahami apa itu 
“integritas diri”, yakni adanya kesesuaian antara apa yang kita yakini, 
ucapkan dan lakukan. Aku pernah mengatakan, aku belum bisa berbhakti 
kepadanya. Tapi, ibu begitu bijaksana. Beliau menjelaskan bahwa dengan 
kondisi keluarga kami, biarlah doa tulus dari masing-masing yang menjadi
 pengikat hati-hati kami. Subhanallah.
 
  
 
 Yaa Rabbana, 
ampunilah dosa kami juga orang tua kami. Hanya Engkaulah sebaik-baiknya 
pemberi balasan. Berikanlah ibu kami keberkahan dan keselamatan dunia 
dan akhirat. Perhitungkanlah kemuliaan mereka. Hanya Jannah-MU yang 
layak untuk aku persembahkan. Semoga aku juga senantiasa menjadi ananda 
yang shaliha, sehingga doa-harapanku tentang Jannah itu, bisa Allah 
ijabah. Agar kami bisa bertemu kembali di sana.. Allohumma Aamiin.