Rabu, 24 Juni 2015

Kestengel Pertama Saya

0



Kestengel Pertama Saya

Bulan Ramadhan memang tidak dapat lepas dari kue kastengel. Penganan yang bentuknya kecil dengan sensasi keju yang begitu khas. Cocok untuk menemani aktivitas santai selepas kita shalat tarawih, nih. Biasanya, satu toples dapat saya habiskan hanya satu minggu. Maklum, saya memang fans berat aneka kue dari keju.

Tetapi, memasuki bulan Ramadhan ini, Ibu baru saja pulih dari sakitnya. Apalagi usia Ibu sudah hampir memasuki kapala tujuh. Rasanya, batin ini tidak tega meminta Ibu membuat kastengel seperti bulan puasa di tahun-tahun sebelumnya.

Aha! Sontak ada ide yang menyentak di otak. Kenapa tidak saya sendiri saja yang kali ini bergantian membuat kastengel. Tapi, saya pengin bikin kejutan buat Ibu, jadi … saya putuskan untuk tidak membuatnya di rumah ini. Saya pun mengajak Kakak agar bekerja sama membuat kastengel untuk pertama kalinya. Maklum, Kakak sudah menikah dan tinggal di rumah yang berbeda. Untunglah Kakak pun menerima ajakan saya.

Saya dan Kakak lantas mencari resep kestengel yang tepat. Ternyata, kurang lebih resep yang tampil di online hampir sama. Agar rasanya tidak beda jauh dari kastengel milik Ibu, saya pun menggunakan Keju Kraft yang lezatnya mampu menggoyang lidah. Langsung saja meluncur ke websitenya di www.kejumoo.com.

Momen yang mendebarkan adalah menanti kue selesai dipanggang. Saat memanggang kue-kue tersebut, badan saya sempat lemas karena ternyata agak gosong. Saya dan Kakak pun sempat beda pendapat, antara terus mengantarkan kastengel ini ke Ibu atau tidak.
“Coba saja kasih Ibu dulu, siapa tahu rasanya enak,” bujuk Kakak.
Baiklah. Saya menuruti nasehat Kakak.

Saat adzan magrib berkumandang, Ibu justru memilih mencicipi kastengel pertama saya. Bahkan, Ibu sampai langsung mengambil kastengel-nya lagi dan lagi. Ah, walaupun penampilan sedikit gosong, setidaknya Ibu menyukai rasanya. Dan saat itu, hanya senyum mengembang yang nampak di wajah saya.    




Jumat, 28 November 2014

Minggu, 19 Oktober 2014

Sesi Makan

1


Sesi Makan  ^_^


Sewaktu masih mengajar di SD, setiap kali sesi makan dimulai pasti kami sebagai guru, akan menemukan beberapa anak yang tipe pemilih makanan. Kebanyakan sih, tidak suka dengan sayuran. Tapi, ada juga yang tidak mau pakai nasi. Ada pula yang harus selalu makan ayam goreng. Ada yang anti daging, dan sebagainya. Kalau kami tanya: “Kenapa sayurnya gak dimakan?”, jawaban paling sering muncul adalah: soalnya sayur gak enak bu...

Jadi teringat dengan sebuah buku terkait hal ini, yang kurang-lebih isinya menjelaskan bahwa : pengalaman makan di masa kecill  (bayi, balita), akan sangat berpengaruh pada pandangan dan kebiasaan seorang anak terhadap ‘acara makan’ di masa pertumbuhan lanjutan dan masa dewasanya kelak.

Jadi saat acara makan, hendaknya orangtua bisa menjadikan moment tersebut sebagai kegiatan yang menyenangkan. Makan menjadi kegiatan yang penuh kehangatan. Menu makanan pun, baiknya divariasikan. Bahkan, tidak jarang orangtua harus cerdas mensiasati sajian yang diberikan kepada buah hatinya.

Orangtua sekaligus memperkenalkan sang anak dengan berbagai jenis makanan (utama: sayur, nasi, daging, ikan, dsb). Gestur (bahasa tubuh), cara menatap saat orang tua menyuapi atau menemani anak makan pun, harus diperhatikan. Saat sesi makan ini, orangtua hendaknya sambil mengucapkan kalimat-kalimat positif, meskipun anak masih bayi sekalipun (saat masa ASI, masa MPASI). Tidak lupa, ada sikap mental yang perlu dimiliki oleh orangtua, yakni à jangan mudah menyerah.

Saya pribadi, adalah orang ‘pemakan segala.’ Alhamdulillah, Allah menjadikan saya orang yang tidak pernah pantang dengan jenis makanan apapun (selama halalan thayyiban). Jadi, kini saya menerawang: Apa dan bagaimanakah BEST EFFORT yang  telah dilakukan oleh almh. Mama, saat saya kecil dulu? :)

MASAK...

0


MASAK...

Ternyata, bagi orang-orang tertentu, dalam membuktikan bahwa makanan yang mereka masak “layak untuk dikonsumsi manusia”, butuh perjuangan yang ruarrr biasa. Apa ada kaitannya dengan bakat? Istilah “tangan dingin” ? Memang malas? Atau sudah suratan takdir? Hehe.

 Berbekal niat dan semangat saja tidak cukup kawan! Butuh latihan dan keshabaran, termasuk berbesar hati dalam menerima hujatan. :D  Dari mulai salah bumbu, salah bahan, salah takaran, salah perhitungan waktu, hingga salah sangka. Salah berprasangka bahwa sang menu akan mendapatkan sambutan hangat dari para ‘relawan.’

Saat satu suapan mendarat di mulut seorang relawan, dagdigdugserr rasanya. Makanan mulai dilumat dan munculnya berbagai ekspresi spontan. Yang pasti, bukan ekspresi suka cita, tapi sebaliknya: duka cita. L Trauma! Jangan sampai para relawan jadi trauma dengan karya yang mereka terima. So, berbagai alibi terluncur untuk sekedar membesarkan jiwa. Haha. Tapi, ironis juga jika makanan yang dibuat rasanya enak, pasti dikira faktor “lucky”. Fiuuhhh...

Anyway, apakah pengalaman pahit-getir-nahas ini menggentarkan semangat untuk tetap mencoba? NO! Tentu tidak, jenderal! Sebab, saya yakin setelah bersakit-sakit dahulu, bisa happy kemudian. J  Orang boleh nyinyir dengan usaha Anda, tapi...dunia tak akan kiamat karena nyinyiran mereka. Bahagia itu, adanya disiniiiii... **eehh

Hmm, memasak memang bukan kewajiban, tapi sebuah keterampilan. Emang gak bakalan dosa kalau kita ‘gagap masak’. Tapi, ada tujuan dibalik keterampilan seseorang dalam menyajikan masakan. Termasuk, kelak ingin keluarga kita, anak-anak kita terbiasa makan makanan yang halal-thayyib dan seimbang. Gak bisa selalu  andalkan orang lain kaaan? Gak perlu lah terobsesi oleh chef Farrah Quin atau chef Marinka, apalagi chef Juna... So, tetap semangat memasak kawans!  ;)

PELANGI...

0

PELANGI...


Perbedaan adalah anugerah. Awalnya mungkin kita kerap merasa tidak nyaman dan terancam bila sedang dihadapkan dengan perbedaan. Ego kadang menguasai diri. Selalu merasa benar, tak pernah mau kalah. Namun, bukankah dengan adanya perbedaan kita bisa saling melengkapi? Selain itu, selalu ada kisah indah yang menyertai proses belajar kita dalam menerima perbedaan. Oleh karenanya, saya senang sekali menganalogikan perbedaan dengan fenomena ‘pelangi.’ Pelangi? Ya. Sebab dari gradasi warna pelangi lah kita bisa membuktikan bahwa perbedaan itu memesona... Perbedaan warna pelangi, berdampingan dan membaur bersama...

Namun, ternyata ada pelangi yang TIDAK indah sama sekali. Pelangi yang mana? Yang digunakan sebagai lambang legalisasi penyimpangan orientasi seksual. Belakangan, kita sering menyebutnya dengan istilah LGBT (lesbi-gay-biseksual-transgender). Kenyataan ini begitu menghantam nurani... Mengapa pelangi yang kukagumi, menjadi perlambang global yang menaungi para insan ‘kebingungan’ tadi?

Sudah banyak upaya legalisasi LGBT yang dilakukan secara smooth, tanpa kita sadari. Paham para penggiat LGBT, ceritanya memang mencoba 'mengedukasi' masyarakat untuk bisa saling menghormati sesama manusia, termasuk orientasi seks yang menyimpang sekalipun. Anggapan ini, seolah penghormatan terhadap HAM.. bersikap toleran dan 'menanggung bersama' (bersimpati, berempati).

Sebaliknya, bagi para aktivis LGBT ini, justru malah mengatakan masyarakat umum (normal) sedang diserang 'HOMOPHOBIA' dan bagi mereka ini termasuk 'social diseases'. Astagfirullah, sudah kebalik-balik ya! Kaum LGBT ini akan menganggap dunia amat sangat kejam pada mereka...selama masyarakat tidak menerima paham mereka.

Did u know? They said: my body is my choice....

Masya Allah, ini adalah salah satu tantangan berat yang akan dihadapi oleh generasi anak-cucu kita nanti. Apa saja yang sudah kita siapkan untuk menghalau, melawan arus negatif yang berseliweran silih berganti ini? Mulai sekarang, kita harus bisa berpikir dengan dua kondisi. Dalam arti, jangan hanya merasa aman karena anak atau kerabat kita bukan pelaku, tapi waspadailah ... jangan sampai anak atau kerabat kita menjadi korban si pelaku! Kuatkan anak-anak kita dengan aqidah islamiah...sedari dini. Peran ORANG TUA amat penting disini...

Akan tetapi, sebelum menguatkan sang anak, kita harus ingat dahulu 1 hal: bahwa salah satu hak anak adalah untuk memiliki orang tua yang tangguh dan hebat.
Jadi, mari terus-menerus memperbaiki diri seraya menguatkan keluarga kita dari berbagai ancaman dahsyat seperti ini... dan masih banyak lagi.


**Kendati, eksistensi mereka memang nyata adanya...maka, kita hargai mereka sebagai manusia seutuhnya. Namun, secara tegas TIDAK menerima paham yang mereka bawa. Tahu kah... Mereka pun sebetulnya tak ingin dikucilkan, ingin dirangkul, butuh dibantu.

Jumat, 17 Oktober 2014

Why must parenting ?!

0

Why must parenting ?!


Mengapa saya antusias untuk 'menelusuri' dunia parenting?
Sebab, kebanyakan masalah itu timbul berawal dari personal. Dan personal yang bermasalah, pasti berasal dari keluarga yang bermasalah. Padahal, kekuatan besar...selalu berawal dari yang kecil. Kekokohan bangunan, selalu berasal dari pondasi. Tiada puncak yang tinggi menjulang, tanpa dasar yang mengakar. Pribadi manusia yang utuh dan hebat, didukung oleh keluarga dahsyat.
Kurang bijak rasanya, bila kita sampai berpikir bahwa ilmu parenting hanya COCOK dipelajari bagi mereka yang sudah berkeluarga sendiri, sudah menikah dan memiliki anak. Pada kenyataannya...justruuu, itu sebetulnya sudah agak terlambat. Bahkan, yg sudah berkeluarga pun...masih 'asing' dengan 'ke-parenting-an.'
 
Tantangan yaa, saat mereka yang masih lajang...namun gemar mempelajari parenting. Saat mencoba share, sudah dipastikan ada orang yang meragukan konten sharing kita. Sebab, apa yang dipelajari baru sekedar teori. Zero experience!
Apa betul demikian? No! Tidak sepenuhnya, nol besar.
Bukankah inti dari parenting adalah KELUARGA? Jadi, selama kita masih memiliki dan berada dalam suatu keluarga, maka mempelajari parenting menjadi penting dan RELEVAN untuk siapa saja.
Lalu, bukankah interaksi kita pun adalah dengan para anggota keluarga lain di sekitar kita?
Bukankah kita pernah merasakan pola asuh orangtua? Mengecap pola didik guru-guru kita? Tenggelam dalam pusaran sistem pendidikan di Indonesia?

Bukankah Islam adalah agama yang antisipatif? Selalu mengarahkan ummat agar bersiap-siap sebelum menghadapi 'berbagai kemungkinan.'
Mungkin ada yang belum menikah, tapi inshaa Allah akan menikah. Mungkin ada yang belum memiliki keturunan, tapi inshaa Allah akan memilikinya kelak. Jikalau Allah berkehendak lain, namun kita masih memiliki kesempatan untuk berbagi dan mencoba menjadi manusia yang bermanfaat.

Menjadi orangtua dan menjadi seorang anak, merupakan peran yang menjadi kesatuan. Masing-masing, ada poin kewajiban yang harus ditunaikan serta hak yang harus didapatkan. Keduanya adalah peran mulia yang Allah sandangkan pada diri kita, sebelum mengemban amanah besar lainnya. Ilmu parenting, in shaa Allah akan membantu kita agar lebih mudah dalam memahami dan mempraktikkan semua itu.

Parenting, menyadarkan kita untuk kembali 'pulang ke rumah.' Untuk bersama-sama menyelamatkan keluarga. Keluarga yang menjadi intisari gilang gemilangnya peradaban dunia.
Bilapun kita masih merasa memiliki masalah pribadi atau keluarga, in shaa Allah itu bisa terobati dan terselesaikan bertahap melalui 'sedekah.' Sedekah ilmu untuk membantu masalah orang lain, memudahkan urusan orang lain.

Parenting, is our healing...

Jumat, 19 September 2014

Titik Balik

0


 Titik Balik


Apa yang Allah tetapkan, tidak akan pernah ada yang luput dari hikmah. Saya membayangkan, saat orang tua tetap dalam "kebijaksanaannya."..dan seorang anak tetap dengan kekanak-kanakannya, maka hubungan ortu-anak tidak menemukan situasi "titik balik."

Anak akan bertumbuh dan akan semakin dewasa pemikirannya. Sedangkan orang tua menjadi sebaliknya. Orang tua kelak semakin renta, namun wataknya malah kembali seperti seorang anak, misal: menjadi mudah tersinggung, emosional, ingin diperhatikan lebih, ingin selalu ditemani, dsb.

Di titik ini, saya jadi teringat dengan petikan kalimat dari buku "Anak juga Manusia" yang intinya: sebetulnya saat kita anak-anak, kita sedang mempelajari cara memperlakukan ortu kita kelak, dari cara mereka mendidik kita. Nah, bila kita tidak "melek" akan ilmu agama (terutama bab bhakti terhadap orang tua) dan ilmu ke-parenting-an..maka biasanya pola didik (yang salah sekalipun) cenderung terulang kembali. Termasuk saat kita memperlakukan orang tua.

Ketika orang tua kita menjadi "childish", maka secara tidak langsung kita pun sedang Allah uji menjadi sesosok orangtua. Bila kita tidak melek ilmu, maka akan terjadi -episode pembalasan-. Saat orang tua butuh kita, kita cuma cukup mengganti dengan materi. Saat orang tua membutuhkan kita, kita selalu dalam kondisi sibuk. Saat orang tua menuntut sesuatu dari kita, kita cukup meminta mereka untuk memahami kondisi kita, dsb. Meskipun perlakuan ini terjadi karena duplikasi dari apa yang kita dapatkan dari orang tua kita dahulu. Dalam beramal, selalu ada pilihan paling mulia, dari segala alternatif pilihan yang ada.

Yaa Rabb, semoga Engkau menjadikan kami sebagai anak yang senantiasa berbhakti dan memuliakan orang tua hingga akhir hayat mereka. Terlepas bagaimana perlakuan mereka terhadap kami. Dan semoga kami mampu menjadi orang tua yang shaleh bagi putera/ puteri kami kelak.. Berusaha memberikan segala yang terbaik..

"Yaa Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka, seperti mereka menyayangiku sejak kecil..."

Allohumma Aamiin..
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com